Indo Tekno Podcast

Streaming Media in the Spotlight: Edy Sulistyo of GoPlay

July 21, 2020 Alan Hellawell Season 1 Episode 8
Indo Tekno Podcast
Streaming Media in the Spotlight: Edy Sulistyo of GoPlay
Show Notes Transcript Chapter Markers

Indonesia seems primed to leapfrog into the online media age. With only 0.6 movie screens per 100,000 in population (or roughly 1/20th of US levels), consumption of video-on-demand has skyrocketed this year, particularly as the COVID-19 pandemic has kept people at home, and offline theaters have closed their doors.

This week's guest, GoPlay CEO Edy Sulistyo, believes that the premium video-on-demand platform possesses three critical elements in capturing Indonesia's elusive multibillion dollar streaming media crown:

  1. A deep commitment to cultivating premium local content
  2. A wide array of new business models in partnering with content owners
  3. Intense collaboration with Indonesian tech behemoth Gojek

The Indonesian audience will spend a mere $84 per capita on entertainment and media in 2021. This is a tiny fraction of the $2,300 that the average American is likely to spend. As Indonesia's online media spend grows, how does one win outsized wallet share? This is a question that remained unanswered after the recent demise of two major regional streaming platforms.

Edy outlined a number of important strategies. Only 35% of films in Indonesia were locally produced in 2018, versus nearly 65% in China. Edy envisions domestically produced content crossing 50% shortly, and it should climb higher as GoPlay and others work steadily to improve the quality of local programming. 

Key to this encouraging growth will also be the various revenue sharing models that GoPlay has refined since being founded in 2018. 

One of the single largest blockers to online media consumption has been a lack of viable payment options. GoPlay's surging subscriber numbers owe in large part to its tight integration within the Gojek ecosystem and the convenience of GoPay as a means of paying for content. Just as powerful is GoPlay's ability to leverage big data being generated across the Gojek ecosystem to be able to target users effectively.

We hope you enjoy this, Episode 8, of the Indo Tekno podcast!

(English transcript appears after Bahasa Indonesia translation below)

ALAN 0:11
Selamat datang di episode ke delapan dari Indo Tekno. Saya Alan Hellawell, pendiri konsultan teknologi Gizmo Advisors dan Venture Partner di Alpha JWC Ventures. Pendengar Indonesia dapat membaca transkrip Bahasa Indonesia kami. Minggu ini diskusi kita bergeser ke lanskap media online Indonesia. Kami sangat senang menyambut Edy Sulistyo, Kepala Eksekutif GoPlay, sebuah jasa langganan video premium pada on-demand platform di Indonesia. Senang Anda berada di sini hari ini, Edy. Dapatkah Anda memberi kami gambaran latar belakang dan jalan yang Anda lalui untuk menjadi CEO GoPlay?

EDY SULISTYO 0:50
Saya sebenarnya tidak pernah bermimpi menjadi CEO sebuah perusahaan. Saya selalu menjadi pengusaha sepanjang hidup saya. Saya memulai perjalanan ketika saya masih di sekolah menengah, dan yang saya inginkan hanyalah membangun produk yang dapat bermanfaat bagi banyak orang. Perjalanan wirausaha pertama saya di industri event-and-entertainment dimulai pada tahun 2009. Saya mendirikan sebuah perusahaan bernama eEvent. Perusahaan itu diakuisisi oleh perusahaan lain pada tahun 2013. Kemudian saya kembali ke Indonesia dan mendirikan perusahaan bernama LOKET. Perusahaan itu akhirnya diakuisisi oleh Gojek pada tahun 2017. Sejak itu, saya telah memimpin divisi entertainment di Gojek. dan sekitar tahun 2018, kami memiliki ide ini untuk membuat dampak dalam industri film di Indonesia. Gojek, sementara itu, memiliki visi untuk menghilangkan friksi harian. Ini adalah salah satu industry, serta salah satu vertikal, yang mungkin tidak benar-benar diperhatikan—dan kami percaya bahwa, karena jumlah layar di Indonesia sangat, sangat sedikit (kita hanya memiliki sekitar 2.100 layar di Indonesia pada akhir 2019), banyak konten Indonesia yang tidak pernah mendapatkan penayangan premier yang layak. Jadi dengan melakukan platform distribusi digital, kami berpikir bahwa kami dapat memperbaiki kualitas—meningkatkan saluran distribusi konten Indonesia—dan kami memutuskan untuk membangun GoPlay. Pada dasaranya, di situlah kami berada sekarang.

ALAN 2:30
Sekarang, banyak dari kita memiliki pengetahuan dasar mengenai pasar. Indonesia memiliki populasi lebih dari 270 juta dengan usia rata-rata 30 tahun. Dengan demikian saya berasumsi bahwa sebagian besar populasi tersebut adalah digital natives—mereka jauh lebih terbiasa dengan media online. Kita juga memiliki penetrasi mobile phone yang meningkat dengan cepat. Edy, dapatkah Anda menguraikan secara rinci bagian menarik dari segmentasi yang Anda bayangkan menjadi pelanggan GoPlay tersebut?

EDY SULISTYO 2:57
Ya. Sejak awal, kami menyadari bahwa kebersediaan orang untuk membayar konten di Indonesia cukup rendah, yang mana cukup dapat dimengerti, karena jika Anda melihat industri di China, atau mungkin industri di luar Indonesia, pada awalnya kebersediaan orang untuk membayar selalu serupa. Tidak ada yang benar-benar ingin membayar demi konten. Inilah yang kami lihat di Indonesia. Jadi, kami berpikir bahwa jika kami ingin membuat dampak, kami harus benar-benar membuat algo(ritma)nya—platformnya—sehingga kami dapat mendistribusikan konten premier dan premium Indonesia. Dengan melakukan itu, kami telah menargetkan sebagian besar A dan B di pasar "menengah ke atas". Kami percaya jika kami dapat melakukan hal terebut, maka kami dapat meningkatkan kualitas film Indoneia secara kolektif; itu akan membantu kami untuk menjadi platform distribusi sehingga kami dapat menjangkau lebih banyak pelanggan dan memperbesar industri ini.

ALAN 3:51
Edy, dalam penelitian yang dilakukan baru-baru ini, "Media Partners Asia" menggambarkan lonjakan yang jelas dari streaming video dalam beberapa bulan pertama tahun ini, yang pada dasarnya merupakan awal dari pandemi COVID 19. Waktu-tonton-per-pengguna tumbuh sekitar 150%. Terlebih lagi, laporan McKinsey and Company mengungkapkan bahwa sekitar setengah dari responden Indonesia dapat diprediksi akan menghabiskan lebih banyak waktu menonton film dan pertunjukan online. Bisakah Anda berbagi dengan kami fakta dan angka menarik tentang pola konsumsi di era COVID di Indonesia?

EDY SULISTYO 4:24
Sebenarnya pandemi telah mengakibatkan peningkatan keterlibatan konsumen dalam lebih banyak hiburan online, terutama dengan berdiam diri di rumah. Bagi GoPlay, kami telah melihat peningkatan langganan dalam periode ini; kami telah melihat peningkatan yang signifikan. Akibatnya, konsumen menghabiskan banyak waktu untuk streaming konten film dan seri lokal berkualitas tinggi, yang ditunjukkan oleh peningkatan sekitar 10 kali lipat dalam total waktu yang dihabiskan oleh pengguna GoPlay. Sementara itu, dalam upaya untuk tetap produktif di rumah, orang juga berpartisipasi dalam berbagai acara online. Kami benar-benar melihat peningkatan 32 kali dalam jumlah acara online yang tersedia di platform GoTix, yang mana sangat menarik.

ALAN 5:05
Bahkan sekarang, pada bulan Juli 2020, sepertinya kualitas konten lokal di Indonesia masih terbatas pada sebagian kecil dari film layar lebar. Jika saya tidak salah, sekitar 35% film di Indonesia diproduksi secara lokal dalam hal penjualan tiket, dibandingkan, misalnya, dengan angka yang hampir mencapai 65% di Tiongkok. Edy, apa harapan Anda tentang pertumbuhan konten lokal yang diproduksi di Indonesia?

EDY SULISTYO 5:32
Saya sebenarnya melihat masa depan yang cerah terkait hal tersebut, karena pada 2015, angka itu berada pada kisaran 20%. Kemudian, pada 2016 meningkat menjadi sekitar 25%, 30%, hingga 2019. Berdasarkan tiket yang terjual, rasio konten Indonesia sekitar 40-an persen; kabar baik bagi kita. Jelas, kita semua ingin agar konten bahasa Indonesia berkinerja lebih baik dibandingkan konten asing, yang mana menunjukkan bahwa orang-orang mulai percaya pada konten lokal. Dan Indonesia sebenarnya sangat kaya akan budaya dan tradisi, jadi hal tersebut membawa banyak pengaruh pada film dan konten lokal di Indonesia. Kita memiliki banyak potensi. Berdasarkan data yang ada, kita juga tahu pasti bahwa film dan pembuat konten di Indonesia sangat berbakat, dan mereka dapat menghasilkan konten berkualitas tinggi. Dan faktanya, di antara semua pasar regional, Indonesia sebenarnya dianggap sebagai salah satu negara dengan potensi pertumbuhan tertinggi menurut diskusi di CineAsia 2018. Kami juga melihat bahwa industri kreatif lokal telah meningkat pesat selama bertahun-tahun. Dan ini sangat, sangat menarik, dengan bioskop yang sekarang baik berhenti beroperasi maupun ditutup sementara. Meski demikian, jika tidak ada pandemi, kami memprediksi bahwa tahun ini penjualan tiket konten lokal Indonesia akan melonjak lebih dari 50%.

ALAN 6:55
Baiklah. Ya, itulah kalimat kuncinya: "jika pandemi tidak ada di sini." Karena pertanyaan saya berikutnya berkaitan dengan infrastruktur hiburan offline. Jika kita melihat media online sebagai alternatif dari jaringan offline yang sudah ada, seperti bioskop, memang terlihat seolah-olah Indonesia siap untuk melihat lompatan menuju konsumsi media online. AS memiliki sekitar 12,4 teater per 100.000 penduduk, yang lebih dari 20 kali penetrasi Indonesia di hanya 0,6 teater per 100.000 penduduk. Ap aarti perbedaan ini bagi konsumsi media online di Indonesia ke depannya?

EDY SULISTYO 7:35
Jelas itu akan menciptakan peluang unik. Dan pada saat yang sama, terdapat kekurangan jumlah layer yang berdampak pada distribusi konten lokal Indonesia—konten lokal harus bersaing dengan konten asing. Kita perlu memiliki saluran tambahan; inilah mengapa kami membuat GoPlay, karena kami merasa bahwa GoPlay, atau saluran digital, tidak akan pernah menggantikan pengalaman offline. Namun pada saat bersamaan, platform distribusi online seperti GoPlay ini akan membantu mendistribusikan konten dengan cara yang lebih besar. Terutama sekarang, karena kami adalah bagian dari ekosistem Gojek, kami memiliki akses ke lebih dari setengah populasi Indonesia. Dan semoga, dengan melakukan ini, kita dapat menjadi platform untuk mendistribusikan konten lokal. Selain itu, dari sudut pandang pembuat film, atau dari sudut pandang pembuat konten, mereka akan memiliki cara untuk menunjukkan bakat mereka. Dan yang paling penting, sekarang kita memiliki akses ke sejumlah besar orang, maka kita berada dalam posisi terbaik untuk membantu memperbesar industri dan juga membentuk generasi masa depan Indonesia melalui konten positif.

ALAN 8:46
Sekarang, Edy, salah satu pertanyaan mendasar yang harus ditanyakan oleh penyedia konten, baik offline atau online, adalah: Apakah pelanggan Indonesia membayar untuk layanan ini? Orang Amerika seperti saya terkenal di dunia karena membayar hiburan dan media. PwC, misalnya, memperkirakan pengeluaran per kapita di AS hampir $ 2.300 pada tahun 2021, yang lebih dari 10 kali lipat pengeluaran per kapita Cina dengan angka $ 220. Indonesia diperkirakan akan menghabiskan $ 84 per kapita pada tahun 2021. Itu kurang dari 4% dari angka AS. Bukankah sulit untuk menyisihkan potongan pengeluaran yang dari awal sudah kecil? Apa yang bisa memberi kita keyakinan bahwa potongan pengeluaran itu akan meningkat bagi GoPlay?

EDY SULISTYO 9:31
Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus membedah, dan mencoba memahami, mengapa angka itu sangat rendah. Berdasarkan penelitian kami, kami menyadari bahwa ada dua hal yang terjadi di sini. Satu: secara umum, kesediaan orang untuk membayar konten masih rendah. Tetapi masalah lain adalah karena penetrasi kartu kredit di Indonesia juga sangat, sangat rendah. Inilah mengapa kami di GoPlay berada dalam posisi yang sangat unik untuk melakukan ini, karena kami dapat menyelesaikan masalah pembayaran dengan GoPay, yang merupakan salah satu dompet digital terbesar di Indonesia. Hal ini memungkinkan kami untuk memberikan biaya berlangganan, dan kami dapat melakukannya secara berulang. Ini juga memberi peluang untuk benar-benar mengidentifikasi orang-orang yang memiliki kemampuan belanja, yang kemudian memungkinkan kami secara unik memposisikan diri untuk memanfaatkannya dan menumbuhkan bisnis dengan cara yang paling efisien. Namun dalam hal konten—kemauan untuk membayar konten—berdasarkan penelitian yang juga telah kami lakukan, dan kami juga lihat di China, sebenarnya butuh waktu sekitar tujuh tahun dari China sejak OTT pertama (konten over-the-top) diluncurkan pada awal 2010-an. 2018 sebenarnya adalah tahun pertama ketika China melihat pendapatan dari langganan melebihi pendapatan dari AVOD untuk pertama kalinya dalam sejarah OTT.

ALAN 10:47
AVOD berarti advertising-video-on-demand, benar?

EDY SULISTYO 10:51
Benar, benar. Fakta bahwa pendapatan dari langganan melebihi pendapatan dari iklan pada dasarnya menunjukkan kesediaan orang untuk membayar konten meningkat seiring waktu. Salah satu faktor utama utama adalah banyaknya konten yang masuk; ada banyak konten berkualitas baik. Orang-orang mulai lebih percaya pada konten lokal. Kesadaran serta pengetahuan sebenarnya membantu orang untuk membayar konten. Di Gojek, untuk membantu mempercepat proses itu, kami melakukan banyak bundled pricing. Jadi kami melakukan strategi seperti Amazon Prime, jika Anda familiar dengan itu, di mana kami menggabungkan langganan Bersama dengan produk Gojek lainnya, yang lagi-lagi meJadi, kami lebih seperti strategi Amazon Prime, jika Anda terbiasa dengan hal itu, di mana kami menggabungkan langganan bersama dengan produk Gojek lainnya, yang lagi-lagi, memberi peluang bagi kami untuk berada dalam situasi sangat unik. Kami dapat menjadikan GoPlay sebagai platform yang sangat mudah diakses dan terjangkau bagi banyak orang. Sehingga mereka bisa mulai mendapatkan langganan dengan membeli, katakanlah, langganan GoFood dan GoPlay, dan kemudian mereka bisa mendapatkan akses GoPlay secara gratis. Dan dengan melakukan itu, mereka tidak hanya dapat memperoleh voucher atau manfaat GoFood, mereka juga dapat menikmati langganan GoPlay secara gratis selama 30 hari. Dengan melakukan itu, mereka dapat menonton konten dan kemudian mereka mulai menyadari bahwa, "Oh, sekarang konten Indonesia jauh lebih baik daripada sebelumnya." Dan keinginan untuk membayar mulai berkembang. Harapan kami adalah untuk bisa mempercepat proses itu.

ALAN 12:12
Menarik. Jadi ada prinsip yang sangat mendasar, yaitu, kemauan untuk membayar dapat didorong oleh kemampuan membayar dan kemampuan untuk membayar bukanlah pengalaman tanpa hambatan. Sepertinya komponen lain dari strategi Anda adalah mendorong perilaku dasar. Jika kita dapat melakukan bundling, atau berbagai strategi lainnya, kita dapat membuat konsumsi media lebih mudah diakses oleh pengguna. Begitulah cara Anda benar-benar memulai perilaku dasar yang Anda bicarakan tumbuh selama 10 tahun di Cina, benarkah itu? Melanjutkan sepanjang diskusi ini, saya ingat melihat survei orang Indonesia yang menjelaskan mengapa mereka tidak membayar untuk berlangganan OTT, atau "over-the-top". Respons paling umum pada 34% adalah "layanan ini terlalu mahal, dan saya tidak melihat nilainya." Sekarang, bagaimana kita mengatasi persepsi ini?

EDY SULISTYO 13:08
Ini merupakan tantangan yang berkelanjutan. Kami telah melihat bahwa kualitas konten Indonesia telah meningkat secara drastis dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi kita perlu memberi tahu orang-orang bahwa kualitasnya telah meningkat sehingga mereka mau menonton. Jadi pandemi ini sebenarnya membawa banyak jenis peluang "berkah tersembunyi". Mungkin karena mereka kehabisan konten yang bagus untuk ditonton di OTT yang berbeda, dan banyak dari mereka memutuskan untuk mencobanya. Pada bulan Maret, kami menjalankan kampanye dan membuka akses. Kami memberikan uji coba gratis, kami membiarkan orang mencoba layanan kami, dan mereka mulai menonton beberapa konten kami. Kami telah melihat banyak umpan balik positif dari orang-orang yang belum pernah menonton konten Indonesia sebelumnya. Dan setelah mereka menontonnya, mereka mulai berkata bahwa "Wow, ternyata konten Indonesia jauh, jauh lebih baik daripada sebelumnya." Karena kebanyakan orang berpikir bahwa konten Indonesia, dari sepengetahuan mereka, selalu memiliki kualitas sinetron, seperti yang kita lihat di TV free-to-air. Dan setelah mereka melihat konten premium, mereka tidak hanya mulai jatuh cinta padanya, tetapi mereka juga mulai bangga dengan konten Indonesia. Dan mereka memutuskan untuk memberi tahu teman-teman mereka. Dan kami telah melihat bahwa orang mulai melihat keuntungan berlangganan. Ini sebenarnya menarik karena, setelah pandemi berakhir, kita bisa melihat harapan bahwa konten berkualitas lokal Indonesia akan tumbuh secara signifikan karena pasar telah berkembang.

ALAN 14:40
Edy, pertanyaan yang sangat mendasar. Apakah jaringan seluler Indonesia cukup kuat untuk melakukan streaming konten berkualitas tinggi?

EDY SULISTYO 14:48
Kami sangat percaya bahwa penetrasi internet dan infrastruktur digital jelas akan terus meningkat di Indonesia. Jika Anda melihat data tahun-ke-tahun, bahkan data dekade-ke-dekade, internet dan infrastruktur Indonesia telah meningkat pesat. Pemerintah Indonesia jelas juga meningkatkan infrastruktur digital dengan membangun, apa yang mereka sebut "internet highway" atau semacamnya. Mereka baru saja menyelesaikan jaringan fiber optic terakhir yang akan membawa internet berkecepatan tinggi bahkan ke daerah-daerah termiskin di Indonesia, termasuk Papua. Jadi, kita melihat jumlah pengguna internet pada 2019 juga meningkat sekitar 10% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dan ini pasti akan terus tumbuh.

ALAN 15:34
Edy, Google mengungkapkan beberapa angka 2019 yang menarik mengenai YouTube baru-baru ini. Misalnya, bundel streaming TV YouTube pada akhir tahun lalu memiliki lebih dari 2 juta pelanggan, dan YouTube Music dan YouTube Premium memiliki lebih dari 20 juta pelanggan berbayar. Pendapatan langganan YouTube sekarang memiliki rasio penjualan tahunan $ 3 miliar dan penjualan iklan YouTube tahun lalu, totalnya mencapai $ 15,1 miliar. Bagaimana pendapat Anda mengenai gabungan pendapatan di media online Indonesia; antara pendapatan iklan, langganan dan sumber jangka panjang lain?

EDY SULISTYO 16:08
Saya pikir itu harus digabung. Mengenai GoPlay sendiri, kami pada dasarnya adalah platform subscription-video-on-demand (SVOD). Jadi sebagian besar pendapatan kami berasal dari model berlangganan. Dan, jika kita membahasnya lebih dalam, kami sebenarnya mendapatkan sebagian besar langganan dari bundel. Kami menggabungkan produk di platform Gojek. Selain itu, tentu saja, kami juga memiliki pendapatan iklan di platform kami. Dan kami juga baru-baru ini memperkenalkan platform bayar per tayang juga, sehingga kami dapat membantu pembuat konten yang saat ini mengalami kesulitan dalam meraih penghasilan karena penutupan bioskop. Jadi kami membantu mereka menghasilkan pendapatan tambahan atau alternatif dengan memiliki fitur bayar per tayang di platform kami. Pada bagian konten, kami melakukan model pembagian pendapatan dengan pembuat konten dan production house. Karena kami percaya bahwa jika kami melakukan pembagian pendapatan ini, dan kami dapat melakukannya dengan cara yang benar, kami bisa meningkatkan pendapatan. Dan kami benar-benar menghapus batasan versus jika kami membeli konten secara langsung; itu tidak akan mendorong pembuat konten untuk benar-benar menghasilkan konten berkualitas tinggi. Namun jika kita melakukan pembagian pendapatan, kita memberi mereka insentif untuk menghasilkan konten berkualitas tinggi karena mereka ingin mendapatkan penghasilan praktis tak terbatas dari konten dan IP yang mereka hasilkan. Jadi, kombinasi dari itu akan memungkinkan kami untuk menghasilkan model bisnis yang cukup unik yang saat ini berlaku di Indonesia.

ALAN 17:42
Mengerti, jadi kita berbicara tentang keragaman aliran pendapatan.

EDY SULISTYO 17:46
Benar.

ALAN 17:47
Berkenaan dengan konten lokal, Edy, film atau seri yang dikembangkan secara lokal mana yang paling sukses di GoPlay? Dan apa yang bisa Anda bagikan dengan kami tentang pipeline-nya?

EDY SULISTYO 17:57
Sebelum pandemi, kami telah melihat banyak pengguna kami menggunakan konten kami dari perangkat seluler selama berada dalam perjalanan. Jadi biasanya, jika mereka melakukan itu selama perjalanan, jenis konten yang cocok biasanya adalah konten ukuran pendek, mungkin sekitar 10 hingga 15 menit lamanya. Dan jenisnya bervariasi: komedi, drama, dan sebagainya. Setelah pandemi terjadi, kita telah melihat pergeseran perilaku; semakin banyak orang mulai mengkonsumsi konten kami dari rumah, karena jelas mereka perlu berdiam diri di rumah. Kami telah melihat bahwa perilaku berubah, dan jenis konten yang mereka tonton juga berubah. Mereka suka menikmati konten yang sedikit lebih lama, mungkin sekitar 30 hingga 45 menit, satu jam. Dan mereka menikmati drama atau serial TV, genre thriller. Jadi saya pikir, bergantung pada perilaku orang-orang ini, mereka memiliki konten tertentu yang mereka sukai. Jadi kami memiliki beberapa konten original yang berkinerja sangat baik. Seperti Gossip Girl Indonesia, yang kami lisensikan langsung dari Warner, dan kemudian kami buat versi Indonesia-nya. Kami juga memberikan banyak sentuhan Indonesia. Kami memperkenalkan banyak budaya Indonesia melalui konten. Misalnya, dalam seri aslinya, mereka merayakan Thanksgiving. Jelas, kita tidak memiliki Thanksgiving di Indonesia. Jadi kami mengubahnya ke hari pertama Ramadhan, misalnya. Jadi, kami memberikan sedikit sentuhan unik; jenis konten Indonesia, atau sentuhan budaya. Ini sebenarnya membantu kami untuk menyesuaikan dan membangun konten yang unik untuk pemirsa Indonesia. Kami juga memiliki "Saiyo Sakato". Kami juga memiliki "Tunnel", yang kami adaptasi dari serial TV Korea. Dan kami juga memiliki "Bukan Keluarga Biasa", yang lebih mirip semacam reality show Kardashian. Kami memiliki beberapa lagi di saluran yang sangat, sangat menarik, termasuk Gossip Girl season dua.

ALAN 19:53
Menarik. Ada campuran yang menarik dari mengimpor ide dasar dari pasar lain, kemudian menyesuaikan secara signifikan dengan keunikan pasar Indonesia. Sekarang, Anda telah menyebutkan beberapa kali hubungan dengan Gojek. Bisakah Anda menghitung beberapa keuntungan dari hubungan Anda dengan Gojek? Bisakah Anda memberi tahu kami total pelanggan potensial, unduhan saat ini?

EDY SULISTYO 20:17
Gojek sekarang di Indonesia telah diunduh lebih dari 150 juta kali. Dan jelas, satu pengguna berpotensi juga memiliki akses ke beberapa orang di rumah itu. Dengan GoPlay, ini sedikit unik karena Anda tidak harus menggunakan akses yang sama dengan yang Anda miliki di Gojek. Anda juga dapat membaginya dengan saudara kandung Anda atau orang tua Anda atau siapa pun di rumah tangga Anda. Jadi kita telah melihat bahwa hubungan ini dengan Gojek sangat, sangat membantu untuk GoPlay, tidak hanya dari sudut pandang pengguna, tetapi juga dari bundling. Karena dari bundling ini, seperti yang saya sebutkan sebelumnya dalam diskusi ini, kami dapat menargetkan pengguna tertentu. Katakanlah kami ingin menargetkan pengguna GoSend. Kami telah melihat bahwa layanan logistik di Gojek juga meningkat, cukup menarik, selama pandemi, karena saya pikir orang lebih banyak tinggal di rumah. Ada banyak masakan buatan sendiri. Dan banyak orang sebenarnya menggunakan lebih banyak layanan logistik. Kami memanfaatkannya dengan menggabungkan layanan kami dengan GoSend. Jadi, sementara transportasi GoRide dan GoCar terkena dampak, kami melihat bundel tertentu juga meningkat secara signifikan. Selain itu, salah satu kelebihan hubungan dengan Gojek adalah akses data. Gojek mengumpulkan banyak data dari pengguna. Dan ini membantu kami membuat konten yang unik. Kami dapat menciptakan pengalaman unik untuk masing-masing pengguna. Kami dapat menyesuaikan pengalaman sehingga, ketika mereka membuka GoPlay, kami tahu apa yang mereka sukai, kami tahu preferensi mereka, dan kami dapat menyesuaikannya berdasarkan data yang kami miliki. Jadi sebenarnya ada banyak keuntungan.

ALAN 21:58
Jadi ada banyak aspek Big Data untuk kolaborasi yang belum saya pikirkan.

EDY SULISTYO 22:03
Iya.

ALAN 22:03
Adakah sinergi strategis jangka panjang yang lebih kualitatif dengan Gojek yang belum kita diskusikan? Apa yang memberi kita keuntungan relatif terhadap platform streaming masa lalu yang mungkin bermitra dengan pemain telekomunikasi atau raksasa media, dll?

EDY SULISTYO 22:19
Jelas yang terpenting adalah pembayaran, karena seperti yang saya sebutkan, penetrasi kartu kredit di Indonesia sangat, sangat rendah. Jadi, menjadi bagian dari ekosistem Gojek akan sangat membantu kami, terutama dalam ekosistem pembayaran. Kami memiliki akses GoPay. Kami dapat menargetkan demografi pengguna tertentu yang memiliki GoPay. Melakukan bundel produk ini, kami dapat mengetuk segmen unik pengguna yang mungkin hanya menggunakan satu produk, tetapi tidak menggunakan produk lainnya. Selain itu, saya pikir perusahaan telekomunikasi dan perusahaan media lain juga bisa bermanfaat, dan akhirnya kami mungkin ingin bermitra dengan mereka juga. Kami sangat terbuka untuk bermitra dengan semua orang, termasuk perusahaan telekomunikasi dan perusahaan media lainnya.

ALAN 22:58
Sekarang Edy, saya ingin membahas debat yang sudah lama terjadi, apakah media online bisa menguntungkan atau tidak. Mari kita mulai dengan kenyataan yang lebih menantang. Saya kira YouTube tidak menguntungkan setidaknya selama 10 tahun pertama keberadaannya sejak didirikan pada tahun 2005. Dan terus terang, tidak jelas apakah YouTube secara konsisten menghasilkan untung hingga hari ini. Lebih dekat lagi, kita telah melihat matinya setidaknya dua platform media streaming di Asia Tenggara. Apa yang salah di sini yang bisa kita hindari?

EDY SULISTYO 23:30
Saya pikir fokus pada konten lokal Indonesia adalah kuncinya. Saya pikir ini adalah sesuatu yang kami memiliki keunggulan yang sangat unik menjadi produk yang diproduksi sendiri. Kami memahami apa yang ingin dilihat oleh penduduk setempat. Kami mengerti bagaimana cara menceritakan kisah yang baik. Kami tahu siapa pemain lokal yang pada dasarnya dapat menghasilkan jenis genre tertentu. Dan saya pikir kombinasi baru itu pasti akan membantu kita. Dan kami sangat optimis tentang masa depan perusahaan hiburan online lokal dan Asia Tenggara. Jika Anda melihat area fokus GoPlay, OTT keseluruhan, kami memahami bahwa OTT bukan—dan tidak akan pernah menjadi—pasar "winner-takes-all". Seperti yang Anda lihat dari Netflix, misalnya, kita tahu sekitar 70% pelanggan Netflix juga berlangganan OTT lain. Hal yang sama di Cina: kita telah melihat bahwa banyak OTT di Cina juga memiliki banyak tumpang tindih dengan OTT lain. Jadi inilah mengapa kami percaya bahwa di Indonesia, atau secara umum, OTT tidak akan pernah menjadi pasar "winner-takes-all". Dan dengan berfokus pada konten berkualitas lokal Indonesia sekarang, kami telah melihat bahwa pemetaan dan lanskap kompetitif di Indonesia sudah mapan. Kami adalah satu-satunya yang berfokus pada konten lokal premium Indonesia. Dan tentu saja, kami juga memiliki sedikit konten Asia Tenggara di platform kami. Memilih segmen pasar yang unik ini memungkinkan kami untuk fokus, dan semoga kami dapat menghindari kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh OTT lain di masa lalu.

ALAN 24:59
Anda telah menyebutkan beberapa kali, Edy, bahwa biaya konten adalah bagian besar dari model bisnis. Netflix tahun ini saja kemungkinan akan menghabiskan sekitar $ 17 miliar untuk pengadaan konten. Di Cina, Yoku dan iQiyi mengalami kerugian setiap tahun sejak didirikan pada awal 2000-an, hampir secara eksklusif karena biaya konten yang terus meningkat. Bagaimana untuk berhasil mengelola bagian P&L ini?

EDY SULISTYO 25:24
Kami melakukannya sedikit berbeda di sini di Indonesia. Saat kami memperoleh konten, kami memperoleh konten menggunakan basis bagi hasil. Jadi kami ingin dilihat sebagai platform digital yang dapat membantu pembuat konten tumbuh lebih dari sekadar pembuatan konten. Kami ingin mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan tidak hanya dari konten mereka, tetapi juga dari IP mereka. Jadi, seperti yang saya sebutkan dalam pertanyaan sebelumnya, karena kami menyediakan bagi hasil ini, kami sebenarnya memungkinkan mereka untuk mendapatkan lebih banyak pendapatan berdasarkan berita acara yang ditonton di platform kami. Ini lebih seperti model Spotify. Kami belajar dari Spotify. Jika kita dapat memberi insentif kepada pembuat konten ini dengan cara yang benar, memungkinkan mereka untuk menghasilkan lebih banyak uang dengan menghasilkan lebih banyak menit ditonton di platform kami, itu akan mendorong mereka untuk terus fokus dalam membangun lebih banyak konten berkualitas premium yang orang ingin tonton, daripada konten yang mereka membuat demi sekadar membuat konten. Dengan melakukan ini, kami berharap kami dapat bekerja dengan semua pembuat konten. Kami juga dapat membantu mereka menghasilkan lebih banyak pendapatan dan, pada saat yang sama, mereka dapat membantu kami menyediakan lebih banyak konten untuk pelanggan kami.

ALAN 26:33
Sekarang di sisi yang jauh lebih positif dari spektrum yang saya paparkan ini, kita kembali memiliki Netflix yang telah melihat keuntungan setiap tahun sejak 2005. Edy, aspek apa dari model bisnis yang akan cocok dengan kita?

EDY SULISTYO 26:46
Yah, saya pikir Netflix juga didominasi SVOD, atau subscriptin-video-on-demand. Meskipun kami juga SVOD, kami harus melakukan diversifikasi aliran pendapatan karena kesediaan orang untuk membayar konten di Indonesia belum ada. Dengan memberikan kombinasi berbagai aliran pendapatan, ini akan memungkinkan kami untuk tidak hanya menjadi berkelanjutan, tetapi juga membantu industri. Dan mudah-mudahan kita dapat menemukan cara untuk terus menjadi platform yang dapat digunakan oleh pembuat konten untuk menunjukkan bakat mereka.

ALAN 27:20
Edy, apakah kita melihat peluang dan pasar lain seperti Vietnam, Thailand atau Singapura?

EDY SULISTYO 27:26
Saya pikir selalu ada potensi untuk pergi ke sana. Tapi saya pikir untuk saat ini, berdasarkan data, kami hanya memiliki sekitar 51 juta tiket terjual di bioskop tahun lalu. Dan 51 juta itu terdiri dari sekitar 30 juta penonton unik yang benar-benar membeli tiket. Itu berarti bahwa, dari 270 juta orang, sekitar 240 juta orang di Indonesia tidak pernah membeli konten Indonesia atau tiket film, yang berarti bahwa potensi pasar di Indonesia masih besar, dan itu masih belum dimanfaatkan. Jadi kami ingin memastikan bahwa kami tetap setia pada visi kami tentang bagaimana memperbanyak industri film Indonesia, dan pada saat yang sama, kami dapat menjadi platform untuk membantu para pembuat konten untuk menampilkan bakat mereka. Dan semoga kita juga dapat menggunakan ini untuk membentuk generasi Indonesia masa depan melalui konten positif.

ALAN 28:11
Edy, diskusi ini telah menjadi tutorial yang sangat menarik tentang konten online di Indonesia, dan kami mengharapkan yang terbaik bagi Anda untuk dapat memenuhi semua pencapaian yang Anda telah targetkan. Nah, ini kesimpulan dari episode kedelapan Indo Tekno. Sekali lagi, terima kasih banyak telah bergabung dengan kami hari ini, Edy.

EDY SULISTYO 28:28
Terima kasih.

ALAN 28:28
Podcast ini diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh Alpha JWC Ventures. Terima kasih untuk mendengarkan. Sampai jumpa lagi!

=================

ALAN 0:11
Welcome to our eighth episode of Indo Tekno. I'm Alan Hellawell, founder of startup advisory firm Gizmo Advisors, and Venture Partner at Alpha JWC Ventures. For our Indonesian listeners: pendengar Indonesia dapat membaca transkrip Bahasa Indonesia kami. This week our discussion shifts into Indonesia's online media landscape. We're very pleased to have Edy Sulistyo, Chief Executive Officer of GoPlay, which is Indonesia's premium video subscription on demand platform. Great to have you today, Edy. Edy, can you give us a sense of your background and your path to becoming CEO of GoPlay?

EDY SULISTYO 0:50
I actually never dreamed of becoming the CEO of a company. I have always been an entrepreneur all of my life. I started my journey when I was in high school. And all I wanted was to build a product that can be useful for many people. My first entrepreneurial journey in the event-and-entertainment industry started back in 2009. I founded a company called eEvent. And then after that, that company got acquired by a company in 2013. And then I went back to Indonesia and founded a company called LOKET. That company ended up being acquired by Gojek in 2017. And since then, I've been leading the entertainment division in Gojek. And around 2018, we had this idea to make an impact in the film industry in Indonesia. Gojek, meanwhile, had a vision to remove daily frictions. And this is one of the industries, and one of the verticals, that probably is not really looked into. And we believe that, because the number of screens in Indonesia is very, very little (we only had about 2100 screens in Indonesia by the end of 2019), a lot of the Indonesian content has never gotten the premier stage that it deserves. So by doing the digital distribution platform, we thought that we could increase the quality, we can increase the distribution channels of Indonesian content, and we decided to build GoPlay. And that's basically where we are right now.

ALAN 2:30
Now, many of us know the basics of the market. Indonesia has a population of more than 270 million. It has an average age of 30 years old. And thus I assume much of the population are digital natives. And they're much more accustomed to online media. And we have a fast rising mobile phone penetration. Now Edy, can you outline in greater detail the more fascinating parts of this group which you envision becoming GoPlay customers?

EDY SULISTYO 2:57
Yes. So to begin with, we realize that the willingness for people to pay for content in Indonesia is quite low, which is quite understandable, because if you look at the industry in China, or maybe the industry outside Indonesia, the willingness for people to pay in the early days is always similar. So nobody really wants to pay for content. And this is what we've been seeing in Indonesia. So, we think that if we want to really make an impact, I think we should really make the algo, the platform, so that we can distribute the premier and the premium Indonesian content. By doing that, we are actually targeting mostly the A and B in the "middle-up" market to begin with. We believe that if we can do this, then we can collectively increase the quality of Indonesian film and at the end of the day, it will help us to become the distribution platform so that we can reach more audience and we can multiply the industry in a greater way.

ALAN 3:51
Now Edy, "Media Partners Asia" in recent research profiled a clear surge and video streaming in the first few months of year, which was basically the outset of the COVID 19 pandemic. Viewing-time-per-user grew roughly 150%. A McKinsey and Company report moreover revealed that roughly half of Indonesian respondents expect to spend even more time watching online movies and shows. Can you share with us any interesting facts and figures about consumption patterns in the COVID era in Indonesia?

EDY SULISTYO 4:24
Actually the pandemic has resulted in many consumers engaging in more online entertainment, especially staying at home. Gor GoPlay, we have seen an increase in subscriptions during this time. We've seen a significant increase actually during this time. As a result, consumers spend a lot of time streaming high quality local film and series content, indicated by a roughly 10-fold increase in the total time spent by GoPlay users. Meanwhile, in an effort to remain productive at home, people also participated in various online events. We actually see about a 32 times increase in the number of online events available on the GoTix platform, which is very exciting.

ALAN 5:05
Even now, in July of 2020, it does seem as though quality local content in Indonesia is still limited to a small percentage of feature films. If I'm not mistaken, roughly 35% of films in Indonesia are locally produced in terms of ticket sales, versus, for instance, nearly 65% in China. Edy, what are your expectations of growth around locally produced content in Indonesia?

EDY SULISTYO 5:32
I actually see quite a bright future for this because in 2015, that number was roughly about 20%. And then, in 2016, it started to increase to about roughly 25%, 30%, all the way to 2019. Based on the ticket sold, the ratio of Indonesian content is roughly 40-something percent. We just good news for all of us. Obviously, all of us want to have Indonesian content to perform better than foreign content, which indicates that people start to believe in the local content. And Indonesia is actually very rich in culture and tradition. So this brings a lot of influence to the movie and the local content in Indonesia. And we have a lot of potential. And we know for sure, based on the numbers, that the movie and the content creator in Indonesia are very talented, and they can produce high quality content. And in fact, amongst all of our fellow markets in the region, Indonesia is actually considered one of the countries with the most potential for growth according to discussions at the 2018 CineAsia. And we also see that the local creative industry has improved tremendously over the years. And this is very, very exciting with cinemas now closed and shut down temporarily. But if not, if there were no pandemic we were actually expecting that this year, the ticket sales of the local Indonesian content would exceed more than 50%.

ALAN 6:55
Understood. Well, that's the key phrase: "if the pandemic were not here." Because my next question does relate to the offline entertainment infrastructure. If we look at online media as an alternative to that incumbent offline network, such as the movie theaters you've mentioned, it does indeed look as though Indonesia is primed to see a leapfrog toward online media consumption. The US has an estimated 12.4 theatres per 100,000 in population, which is more than 20 times the penetration of Indonesia at only 0.6 theatres per 100,000 population. What might such a disparity mean for online media consumption in Indonesia going forward?

EDY SULISTYO 7:35
Obviously, it will create such a unique opportunity. And at the same time, there is a lack of number of screens impacting the distribution of our local Indonesian content. Local Indonesian content has to compete with their foreign counterparts. We need to have additional channels, so this is why we are creating GoPlay to begin with, because we feel like we know that GoPlay, or the digital channel, will never replace the offline experience. But at the same time having the online distribution platform like GoPlay, it will help to distribute the content in such a bigger way. And especially now that we are part of the Gojek ecosystem, we have access to probably more than half of the Indonesian population. And hopefully, by doing this, we can be that platform to distribute the local content. And at the same time, from the movie creator point of view, or the content creator point of view, they will have a way to showcase their talent. And most importantly, now that we have this access to a huge number of people, then we are in the best position to help multiply the industry and also shape the future generation of Indonesia through the positive content.

ALAN 8:46
Now Edy, one of the fundamental questions that providers of content, whether offline or online, must ask is: Will the Indonesian patron pay for the service? Americans like myself are world-renowned for paying for entertainment and media. PwC, for example, expects per capita spend in the US to be nearly $2,300 in 2021, which is more than 10 times China at $220 per capita. Indonesia is forecast to spend $84 per capita in 2021. That's less than 4% of US levels. Isn't it hard to capture a slice of an already small media spend wallet? And what gives us confidence that that pie is going to grow quickly for GoPlay?

EDY SULISTYO 9:31
Well, in order to answer that, we have to dissect, and try to understand, why that number is so low. Based on our research, we realized that there's two things happening here. One: in general, the willingness of people to pay for content is still low. But another issue is because credit card penetration in Indonesia is also very, very low. This is why we at GoPlay are in a very unique position to do this, because we can solve the payment issue because we have GoPay, which is one of the largest digital wallets in Indonesia. That allows us to charge a subscription fee, and we can do this recurringly. And this will allow us to actually identify those people who have spending power, which allows us, again, to uniquely position ourselves to capitalize on it, and grow the business in a most efficient way. But in terms of the content, the willingness to pay for the content, based on the research that we have also done, and we also see in China, it actually took China about seven years from the first OTT (over-the-top content) launch back in the early 2010s. 2018 is actually the first year when China saw the revenue from subscriptions exceeding the revenue from the AVOD for the very first time in the OTT history of China.

ALAN 10:47
AVOD meaning advertising-video-on-demand, is that right?

EDY SULISTYO 10:51
Correct. Correct. The fact that revenue from subscriptions exceeds the revenue from advertising basically shows the the willingness for people to pay for content increases over time. And one of the key primary factors is that there's a lot of influx of content; there's a lot of good quality content. And people started to believe in the local content more. And the awareness and the knowledge actually helped to contribute to people paying for the content. On Gojek, to help accelerate that process, we are doing a lot of bundled pricing. So, we're more like the Amazon Prime strategy, if you're familiar with that, where we bundle a subscription together with other Gojek product, which again, allows us a very unique situation as well. We can make GoPlay as a platform very accessible and affordable for many people. So they can start getting the subscription by buying, let's say, a GoFood and GoPlay subscription, and then they can get GoPlay access for free. And by doing that, not only can they get the GoFood vouchers or benefit, they can also enjoy a GoPlay subscription for free for 30 days. And by doing that, they can watch the content and then they start to realize that, "Oh, now Indonesian content is much better than before." And the willingness to pay starts to develop. And hopefully, we can accelerate that process.

ALAN 12:12
Interesting. So there's a very basic principle, which is, the willingness to pay can be driven by the ability to pay and the ability to pay has been not a frictionless experience. It sounds as though another component of your strategy is encouraging basic behaviors. And if we can do bundling, or various other strategies, we can make media consumption more accessible to the user. That's how you really start these basic behaviors that you talked about growing over a 10 year period in China, is that right? Continuing along this line of discussion, I remember seeing a survey of Indonesians explaining why they don't pay for OTT, or "over-the-top" subscriptions. The most common response at 34% was "these services are too expensive, and I don't see value." Now, how do we address this perception?

EDY SULISTYO 13:08
This has been an ongoing challenge. We've seen that the quality of Indonesian content has improved dramatically in the past few years. But we need to let people know that the quality has increased so that they're willing to watch. So this pandemic actually brings a lot of "blessing in disguise" kind-of opportunity. Maybe because they are running out of good content to watch on different OTT. And many of them decided to give it a try. In March, we were running a campaign and we opened our access. We gave a free trial, we let people try our services, and they started watching some of our content. And we've seen a lot of positive feedback. We've seen a lot of encouraging feedback from people who actually never watched Indonesian content before. And after they watch it, they started to say that "Wow, apparently Indonesian content is much, much better than before." Because most people think that Indonesian content from what they know is always a soap opera kind of quality, like what we seen on the on the free-to-air TV. And after they see the premium content, not only did they start to fall in love with it, but they started to become proud of Indonesian content. And they decided to tell their friends. And we've seen that people started to see the value of the subscription. This is actually exciting because, after the pandemic is over, we've seen the light at the end of the tunnel that the market for Indonesian local quality content will grow significantly because the market has expanded.

ALAN 14:40
Edy, a very basic question. Are Indonesia's mobile networks robust enough to stream high quality content?

EDY SULISTYO 14:48
Well, we strongly believe that internet penetration and digital infrastructure will obviously continuously accelerate in Indonesia. If you look at the year-on-year data, even the decade-on-decade data, Indonesian internet and infrastructure has improved tremendously. The Indonesian government is obviously also improving the digital infrastructure by building, what they call the "internet highway" or something like that. They are recently completing the last leg of fiber optic network that will bring the high speed internet to even the poorest regions in Indonesia, including Papua. So, we see the number of the internet users in 2019 also increase about 10% compared to the previous years, and this will definitely continue growing.

ALAN 15:34
Now Edy, Google disclosed some interesting 2019 numbers around YouTube recently. For instance, the YouTube TV streaming bundle at the end of last year had more than 2 million subscribers, and YouTube Music and YouTube Premium had more than 20 million paid subscribers. YouTube's subscription revenue now has a $3 billion annual run rate and YouTube ad sales last year, meanwhile, totaled $15.1 billion. How do we think of revenue mix in Indonesia online media; between advertising revenues, subscriptions and other sources longer term.

EDY SULISTYO 16:08
I think it has to be mixed. I think for us in GoPlay, we are primarily a subscription-video-on-demand (SVOD) platform. So most of our revenues come from our subscription model. And, if we go deeper into that, we actually derive most of our subscription from the bundle. We bundl through a Gojek product in the Gojek platform. On top of that, of course, we also have our advertising revenue on our platform. And we also recently introduced our pay-per-view platform as well, so that we can help the content creators that right now are having some difficulties in generating cash flow due to the shutdown of the cinemas. So we're helping them to generate additional or alternative revenue by having the pay-per-view features on our platform. And on the content side, we are actually doing a revenue sharing model with the content creator and the production houses. Because we believe that if we do this revenue sharing, and we can do this in the right way, we can actually increase the revenue. And we actually remove the cap versus if we buy the content directly outright. So it will not incentivize the content creator to actually produce high quality content. But then if we're doing revenue sharing, in a way we are incentivizing them to produce high quality content because they want to get practically unlimited revenue from the content and the IP that they produce. So, a combination of that will allow us to generate a quite a unique business model that right now is applicable in Indonesia.

ALAN 17:42
Got you, so we're talking about a diversity of revenue streams.

EDY SULISTYO 17:46
Correct.

ALAN 17:47
With regard to local content, Edy, which locally developed movie or series has been most successful on GoPlay? And what can you share with us about the pipeline?

EDY SULISTYO 17:57
Before the pandemic, we've seen many of our users consume our content from the mobile device during travel, during commute time. So usually, if they do that during the commute, the kind of content that works really, really well is usually the short form bite-sized content, maybe about 10 to 15 minutes long. And it varies: comedy, drama and stuff. And after the pandemic happened, we've seen a shifting in behavior. And we've seen that more and more people started to consume content, our content, from home, when obviously because they need to stay at home. But we've seen that behavior shifted, and the kind of content that they watch has also shifted. They like to enjoy a little bit longer content, like maybe about 30-to-45 minutes, an hour long. And they enjoy drama or TV series, the thriller genre. So I think, depending on the behavior of these people, I think they have a certain content that they like. So we do have a few of our originals that have been performing exceptionally well. Such as Gossip Girl Indonesia, which we licensed directly from Warner, and then we create the Indonesian version of it. And we give a lot of Indonesian touches. We introduce a lot of Indonesian culture through the content. For example, in the original series, they're celebrating Thanksgiving. Obviously, we don't have Thanksgiving in Indonesia. So we changed it to the first day of Ramadan, for example. So, we are giving this a little bit of a unique touch; an Indonesian kind of content, or cultural touch. It actually helps us to customize and build the unique content for an Indonesian audience. We also have "Saiyo Sakato". We also have "Tunnel", which we adapted from the Korean TV series. And we also have "Bukan Keluarga Biasa", which is more like a Kardashian kind of reality show. And we have a few more in the pipeline that are very, very exciting, including Gossip Girl season Two.

ALAN 19:53
Fascinating. There's an interesting mix of importing the basic idea from other markets, then customizing significantly to the uniqueness of the Indonesian market. Now, you've mentioned several times the relationship with Gojek. Can you quantify some of the advantages of our relationship with Gojek? Can you give us any sense of total potential subscribers, current downloads?

EDY SULISTYO 20:17
Gojek right now in Indonesia has been downloaded more than 150 million times. And obviously, one user potentially also has access to a few people in that household. With GoPlay, it is a bit unique because with GoPlay, you don't have to use the same access that you have in Gojek. You can also share it with your siblings or your parents or maybe anyone in your household. So we've seen that this relationship with Gojek is very, very helpful for GoPlay, not only from the number of users point of view, but also from the bundling. Because from this bundling, as I mentioned earlier in our discussion, with this bundling we can actually target specifically a certain user. Let's say we want to target the GoSend user. We've seen that the logistic services in Gojek have increased also, quite interestingly, during the pandemic, because I think people are staying at home more. There's a lot of homemade cooking. And a lot of people are actually using more and more logistics services. And we capitalized on that by bundling that with GoSend. So, while transport and GoRide and GoCar got impacted a little bit, we see certain bundles have also increased significantly. On top of that, one of the advantages of the relationship with Gojek is the access of the data. Gojek collected tons of data from the user. And this helps us to create a unique kind of content. We can create a unique experience for each of the users. We can customize the experience so that, when they open GoPlay, we know what they like, we know their preferences, and we can customize it based on the data that we have. So there's a lot of advantages actually.

ALAN 21:58
So there is very much a Big Data facet to the collaboration which I had not thought about.

EDY SULISTYO 22:03
Yes.

ALAN 22:03
Any more qualitative, longer term strategic synergies with Gojek that we haven't discussed? What gives us advantage relative to the past streaming portals that may have partnered with telco players or media giants, etc.?

EDY SULISTYO 22:19
Obviously, the most important thing is the payment because, as I mentioned, the credit card penetration in Indonesia is very, very low. So being part of the Gojek ecosystem will help us tremendously, especially in the payment ecosystem. We have GoPay access. We can target a certain demographic of user who have GoPay. Doing this product bundle, we can tap a unique segment of the user who may be only using one product, but not using the other product. And on top of that, I think the telcos and the other media companies could also be beneficial, and eventually we might want to partner with them as well. And we are very open to partnering with everyone, including the telcos and other media companies.

ALAN 22:58
Now Edy, I want to address the perennial debate as to whether online media can be profitable or not. Let's start with a more challenging reality. I would guess that YouTube was unprofitable for at least the first 10 years of its existence since being founded in 2005. And frankly, it's not clear whether it consistently makes a profit even to this day. Closer to home, we've seen the demise of at least two streaming media platforms in Southeast Asia. What might have gone wrong here that we can avoid?

EDY SULISTYO 23:30
I think focusing on local Indonesian content is the key. I think this is something that we have a very unique advantage of being a homegrown product. We understand what the locals want to see. We understand how to tell a good story. We know who is the local player that basically can produce a certain type of genre. And I think that a new combination of that will definitely help us. And we're very bullish about the future of the local and Southeast Asian online entertainment company. If you look at the GoPlay focus area, the overall OTT, we understand that OTT is not, and will never be, a "winner-takes-all" market. As you can see from Netflix, for example, we know about 70% of Netflix subscribers also subscribe to the other OTT's. The same thing in China: we've seen that multiple OTT's in China also have a lot of overlap with the other OTT's in China. So this is why we believe that in Indonesia, or in general, OTT will never be the "winner-takes-all" market. And by focusing on local Indonesian quality content right now, we've seen that the mapping and the competitive landscape in Indonesia is well established. We are the only one that is focusing on the local premium Indonesian content. And then, of course, we also have a little bit of Southeast Asian content on our platform. Choosing this unique market segment allows us to focus, and hopefully we can avoid the same mistakes that the other OTT's have made in the past.

ALAN 24:59
You've mentioned several times now, Edy, that content costs are a big part of the business model. Netflix this year alone is likely to spend roughly $17 billion on content. In China, both Yoku and iQiyi have run losses every single year since their founding in the early 2000s, almost exclusively due to the ever rising content costs. How do we intend to successfully manage this part of the P&L?

EDY SULISTYO 25:24
We're doing it a little bit different here in Indonesia. When we acquire content, we acquire the content using a revenue-sharing basis. So we want to be seen as a digital platform that can help content creators to grow beyond just content creation. We want them to be able to get additional revenue not only from their content, but also from their IP. So, as I mentioned in the previous question, as we are providing this revenue share, we are actually allowing them to get more revenue based on the minutes watched on our platform. This is more like a Spotify model. We learned from Spotify. If we can incentivize these content creators the right way, allowing them to make more money by generating more minutes watched on our platform, it will incentivize them to keep focusing on building more premium quality content that people will want to watch, rather than content that they make for the sake of making content. By doing this, we're hoping that we can work with all these content creators. And we can help them by generating more revenue and, at the same time, they can help us to provide more content for our audience.

ALAN 26:33
Now on the much more positive side of this spectrum that I've laid out, we again have Netflix which has seen profit every single year since 2005. Edy, what aspects of that business model would match with ours?

EDY SULISTYO 26:46
Well, I think Netflix is also predominantly SVOD, or subscription-video-on-demand. Although we are also SVOD, we have to diversify the revenue stream because the willingness for people to pay for content in Indonesia is not yet there. By providing a combination of different streams of revenues, it will allow us to not only be sustainable, but also help the industry. And hopefully we can find a way to continue to be the platform that these content creators can use to showcase their talents.

ALAN 27:20
Edy, do we see opportunities and other markets such as Vietnam, Thailand or Singapore?

EDY SULISTYO 27:26
I think there's always potential to go there. But I think for now, based on the data, we only have about 51 million tickets sold in the cinemas last year. And that 51 million consists of about 30 million unique audience members that actually buy tickets. That means that, out of 270 million people, about 240 million people in Indonesia never buy Indonesian content or movie tickets, which means that the market potential in Indonesia is still huge, and it's still untapped. So we want to make sure that we stay true to our vision on how to multiply the Indonesian film industry, and at the same time, we can be that platform to help the content creators to showcase their talent. And hopefully we can also use this to shape the future generations of Indonesians through positive content.

ALAN 28:11
Edy, this has been an absolutely fascinating tutorial on online content in Indonesia, and we wish you the very best in meeting all those milestones that you've laid out. Well, this concludes our eighth installment of Indo Tekno. Again, thanks so much for joining us today, Edy.

EDY SULISTYO 28:28
Thank you.

ALAN 28:28
This podcast was translated from English to Bahasa Indonesia by Alpha JWC Ventures. Terima kasih untuk mendengarkan. Sampai jumpa lagi!

Transcribed by https://otter.ai
Introduction
Edy's path to GoPlay leadership
Basics of the Indonesian media market
GoPlay's target demographic
COVID as a driver to online media consumption
Surge in GoPlay subscriptions during pandemic
The local-foreign film mix in Indonesia
"Bright future" for local Indonesian content
Indonesia with only 0.6 theaters per 100,000. US at 12.4 theaters per 100,000
Gojek+GoPlay optimal platform to distribute local content
Will the Indonesian patron pay for online media?
GoPay key to removing frictions to paying for content
The power of bundling with other Gojek services
The challenge: exposing more Indonesians to ever-improving Indo content
Indonesia's mobile networks: up to the task of streaming?
Likely mix between advertising revenues, subscriptions & other sources
Edy: not just subscriptions and ads, but also pay-per-view
GoPlay successes: Gossip Girl, Saiyo Sakato, Tunnel, Bukan Keluarga Biasa
The GoPlay-Gojek relationship by the numbers
Big data one of the most valuable aspects of the Gojek relationship
Longer term synergies
Partnering and payments
Can online media be profitable?
Focus on local content critical to profitability
Strategies in managing content costs
The comparison with Netflix
Thoughts on overseas expansion
Conclusion