Indo Tekno Podcast

Profiles in Entrepreneurialism: Bram Viktor of Hangry

August 11, 2020 Alan Hellawell Season 1 Episode 11
Indo Tekno Podcast
Profiles in Entrepreneurialism: Bram Viktor of Hangry
Show Notes Transcript Chapter Markers

When listening to Bram Viktor's personal story of achievement as an entrepreneur, Winston Churchill's famous quote comes to mind:

Success is stumbling from failure to failure with no loss of enthusiasm."

Bram's enthusiasm and entrepreneurial vigour are indeed infectious. He self-deprecatingly attributes his unquenchable desire to build and innovate in his early years to a mix of "stupidity and self-confidence." It is however very clear that many more factors came into play in building one of Indonesia's first fintech companies, Taralite, a P2P lending SME lending platform purchased by Fintech leader Ovo early last year.

Bram eventually moved on from Ovo to launch Hangry, Indonesia's first multi-brand virtual restaurant company, late last year. Bram reflects on the importance of mentors in his drive to become a better entrepreneur and better leader. Tokopedia Founder William Tanuwijaya has played such a role in Bram's career. He also describes the best VC's as those who are willing to give "a slap to our right and left cheeks to wake us up when we're not looking at things right". A good VC however is a partner who can also empathise, unlike those who might see entrepreneurial investment in a strictly transactional way.

When asked what elements that tech ecosystem needs in order to to become more robust, Bram believes that participants need to become more comfortable with taking risk, and learn to treat failure, and those who fail, with "respect and admiration."

Bram's final advice to aspiring entrepreneurs: 1) be absolutely dogged in your search for product-market fit, and 2) think about sharing more of the upside your company with your colleagues; it could be through a more generous ESOP plan, or by other means...but do the right thing,

We hope you enjoy the first instalment of our "Profiles in Entrepreneurialism" series, whereby we seek to interview Indonesia's growing crop of serial tech entrepreneurs.

(English version follows Bahasa Indonesia transcript below)

ALAN 0:10
Selamat datang di Indo Tekno episode ke-11. Selamat datang semuanya. Saya Alan Hellawell, Pendiri firma penasihat startup, Gizmo Avisors, dan Mitra Ventura di Alpha JWC Ventures. Bagi pendengar Indonesia, silakan membaca transkrip Bahasa Indonesia kami. Terkait dengan kehadiran bintang tamu minggu ini, saya merasa perlu kembali ke misi awal dari podcast Indo Tekno. Kami membuat seri ini: 1) untuk meningkatkan profil ekosistem teknologi di Indonesia, 2) untuk menambah gambaran analisa di kancah teknologi Indonesia, 3) untuk membuat profil model bisnis baru yang dapat tumbuh menjadi sub sektor bernilai miliaran dolar dan 4) agar wawasan para inovator teknologi terkemuka Indonesia dapat diakses oleh semua orang.

Menyambut kehadiran Abraham "Bram" Victor, salah satu pendiri dan CEO perusahaan multi-brand virtual restaurant pertama di Indonesia, Hangry, kita akan memenuhi keempat misi tersebut sekaligus. Menurut saya, Bram paling tepat digambarkan sebagai salah satu contoh pengusaha sejati Indonesia. Tidak seperti di Silicon Valley, yang dominasinya di dunia teknologi dimulai tak lama setelah Perang Dunia Kedua, atau Taman Zhongguancun China di Beijing, yang mulai hidup pada pertengahan 90-an, dunia kewirausahaan teknologi di Indonesia menurut sebagian besar data yang ada, belum melebihi dari satu dekade. Dan dengan demikian, ini masih dalam periode yang jauh lebih dapat terbentuk. Pengusaha awal seperti Bram lah, yang saya yakini akan membentuk pengalaman berwirausaha di Indonesia. Dan senang sekali Anda bergabung dengan kami hari ini, Bram. Jika Anda tidak keberatan Bram, mari kita mulai dari yang paling awal. Ceritakan tentang latar belakang Anda.

BRAM VIKTOR 1:50
Ya, tentu saja. Saya lahir dan besar di Indonesia. Saya belajar di Indonesia dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Dan saya akan mengatakan bahwa pengalaman saya tumbuh dewasa mungkin mirip dengan banyak orang lain di luar sana. Jadi saya masuk sekolah di sini, mempelajari 18 mata pelajaran sekaligus, yang tentunya banyak. Setelah itu, saya masuk ke salah satu universitas negeri, dan saya menjelajahi berbagai hal. Tapi saya pikir satu hal yang saya sadari sejak saya bersekolah adalah bahwa saya mungkin tidak cocok dengan sistem yang berlaku saat itu, karena saya belajar akuntansi, seperti yang direkomendasikan oleh orang tua saya. Alasan mengapa mereka merekomendasikan saya untuk belajar akuntansi adalah karena mereka mengatakan kepada saya bahwa hanya ada dua fokus studi yang akan memberikan kemudahan dalam mencari pekerjaan, yaitu Akuntansi dan Hukum. Banyak orang bilang kalau bekerja di industri keuangan akan menghasilkan banyak uang. Itulah mengapa saya memutuskan untuk memilih mengambil akuntansi dibandingkan dengan hukum, karena saya pikir akan lebih dekat dengan keuangan. Alan, menjadi seseorang sepertimu adalah mimpiku sebelum aku masuk perguruan tinggi. Itulah pola pikir yang saya miliki ketika saya mendaftar perkuliahan. Saya ingat sejak satu bulan pertama kuliah, saya mulai menyadari bahwa mungkin saya salah memilih fokus studi, karena saya sudah mengalami kesulitan sejak studi akuntansi bagian awal. Sampai-sampai, saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya akan bertahan selama empat tahun untuk belajar akuntansi. Jadi, waktu saya kuliah adalah waktu yang paling membentuk diri saya sepanjang periode akademis yang saya jalani. Satu hal yang saya sadari adalah belajar di perguruan tinggi sama sekali tidak menggambarkan yang benar-benar dihadapi di kehidupan nyata, karena apapun yang saya pelajari di perguruan tinggi sangat berbeda dengan apa yang saya alami setelah saya lulus kuliah. Jadi, satu hal yang saya syukuri saat saya masih kuliah adalah saya memutuskan untuk terjun ke dunia wirausaha untuk pertama kalinya. Ceritanya berawal dari masa-masa sulit yang saya alami saat kuliah. Sayangnya, IPK saya di bawah tiga, sampai-sampai saya harus berbohong kepada orang tua setiap kali mereka bertanya tentang IPK saya. Karena IPK saya di bawah tiga, saya menyadari bahwa peluang saya untuk masuk ke perusahaan yang bagus sangat kecil. Jadi saya mencoba mencari jalan saya sendiri, sehingga saya bisa berhasil dengan cara yang tidak mengharuskan saya melamar ke perusahaan tipikal tempat pelamar kerja melamar setelah mereka lulus, seperti empat firma akuntansi besar, misalnya. Jadi saya mencoba mempertaruhkan peruntungan saya pada kewirausahaan. Saya ingat saya pernah mencoba berbisnis makanan kira-kira saat semester delapan studi saya di perguruan tinggi. Itu adalah pengalaman pertama saya dalam berwirausaha. Saya belajar banyak, tapi berakhir dengan kegagalan. Namun, saya tidak menyerah karena itu. Saya memulai bisnis lain setelah itu. Dan karena bisnis ini, saya harus lulus kuliah setelah lima tahun, dan yang ini juga berakhir dengan kegagalan. Jadi sejak saya masih kecil, hingga perguruan tinggi, saya merasa bahwa hidup saya telah mengalami berbagai kegagalan; kegagalan dalam akademis dan kegagalan dalam dua kali berwirausaha. Itu latar belakang saya. Jadi setelah usaha berwirausaha yang kedua sebelum saya lulus kuliah, saya memutuskan bahwa mungkin saya tidak ditakdirkan untuk menjadi pengusaha, dan saya memutuskan untuk menyelesaikan studi saya di perguruan tinggi dan mulai melamar pekerjaan di dunia profesional.

ALAN 5:02
Banyak hal yang terungkap ya. Perhatian pertama saya ada pada: Saya berasumsi orang tua Anda akan mendengarkan podcast ini. Apakah Anda sudah mengatakan kepada mereka bahwa ternyata Anda memiliki IPK di bawah 3,0?

BRAM VIKTOR 5:17
Untungnya, saya berhasil mengubahnya kembali ke sedikit di atas 3,0 pada semester terakhir; di semester 10 tepatnya. Bersyukur, saya lulus dengan IPK 3.1 bukan di bawah tiga.

Melanjutkan cerita yang sudah saya bagikan tadi: setelah gagal kedua kali, akhirnya saya putuskan untuk mengerjakan tugas akhir kuliah saya yaitu skripsi. Saya akhirnya lulus setelah lima tahun. Saya pikir orang tua saya sangat bersyukur akan hal ini dan saya memutuskan bahwa saya tidak akan pernah mencoba berwirausaha lagi, karena setelah saya telah gagal untuk kedua kalinya, saya cukup trauma. Pada saat itu, teman-teman saya sudah menghasilkan banyak uang dengan bekerja di perusahaan bergengsi seperti McKinsey, BCG dan Deutsche Bank; sedangkan saya hanya memiliki sekitar Rp250.000 di rekening saya, dan tanpa pengalaman kerja, tidak ada kemungkinan untuk memasuki perusahaan sama sekali. Tapi saya ingin berhasil. Jadi saya mencoba segera lulus, yang akhirnya saya lakukan. Dan saya mencoba melamar pekerjaan. Teman saya di perusahaan konsultan bernama BCG menawari saya magang di sana. Jadi saya magang di BCG sebagai karir profesional pertama saya. Di sana saya belajar tentang bagaimana membuat slide. Saya belajar menjadi seorang profesional. Saya mengasah pemikiran saya, dan menjadi lebih terstruktur dalam berkomunikasi serta lainnya. Bagi saya, itu adalah salah satu pengalaman profesional terbaik yang pernah saya jalani. Saya berterima kasih sekali kepada mentor saya di BCG saat itu. Kemudian ketika saya masih di BCG, saya masih mencari pekerjaan pada bidang perbankan investasi, karena yang saya tahu pada saat itu pekerjaan di bidang perbankan investasi adalah pekerjaan dengan bayaran tertinggi. Jadi saya ingin melakukannya. Setelah wawancara dengan banyak perusahaan, di mana ini adalah perjalanan yang sangat sulit bagi saya masuk ke bidang perbankan investasi, tapi ternyata Tuhan memberi saya kesempatan. Jadi saya bergabung dengan perbankan investasi Nomura. Itu adalah pekerjaan full-time pertama saya. Sudah bukan magang lagi. Ini adalah pekerjaan full-time dengan bayaran yang sangat baik. Karir saya di perbankan investasi dimulai sebagai analis sekitar awal tahun 2014. Saya ingat ketika saya mendapatkan surat penawaran (dan kali ini tidak dibatalkan) rasanya seperti mendapatkan kebebasan, akhirnya saya merasa aman secara finansial. Kemudian saya memulai pekerjaan itu. Saya sangat menikmati satu bulan pertama di sana. Saya belajar banyak saat bekerja dengan orang yang pintar. Melakukan kesepakatan secara langsung sangat mendebarkan. Tapi sayangnya, setelah bulan kedua, saya pikir saya mulai menyadari bahwa saya mungkin tidak cocok dengan pekerjaan itu karena perbankan investasi adalah pekerjaan yang sangat memperhatikan hal sedetail mungkin. Dan saya bukan orang yang detail. Satu-satunya hal yang saya tunggu adalah tanggal gajian, tidak ada yang lain. Maka saat itu saya banyak berdoa dan merefleksikan diri. Saya kemudian sadar bahwa mungkin saya masih berkesempatan menjadi seorang pengusaha karena meskipun saya gagal dua kali, saya sebenarnya melakukannya dengan cukup baik. Walaupun tidak menjadi sesuatu, tetapi sebagai seseorang dengan usia 17 atau 18 tahun pada saat itu, saya berhasil melakukan sesuatu yang membuat saya berpikir bahwa saya memang ditakdirkan menjadi pengusaha. Saya mulai beberapa gagasan untuk menjadi pengusaha lagi, dan secara paralel, saya melakukan penelitian kecil tentang apa yang bisa dilakukan. Entah bagaimana ketika saya berada di perbankan investasi (saya pikir ini mungkin rencana Tuhan), saya banyak ditempatkan pada kesepakatan layanan keuangan. Jadi saya melakukan banyak transaksi jasa keuangan. Hal ini membuka mata saya tentang bagaimana sebuah perusahaan jasa keuangan beroperasi dan juga membuka mata saya tentang minimnya inklusi keuangan di Indonesia. Jadi minat untuk melakukan bisnis terkait jasa keuangan muncul di benak saya, kira-kira sekitar pertengahan 2014. Saya mulai melakukan lebih banyak penelitian terkait hal ini. Sebagian besar usaha saya adalah refleksi diri dan berdoa, hanya untuk memastikan ke mana Tuhan mengarahkan saya. Kemudian pada akhir tahun 2014, saya merasa yakin untuk keluar dari Nomura dan memulai perjalanan baru sebagai pengusaha lagi dengan menjalankan layanan keuangan. Saat itu, bisa dibilang bahwa FinTech bahkan belum lahir, setidaknya di Indonesia. Belum ada perusahaan pinjaman peer-to-peer di Indonesia. Menurut saya pembayaran adalah satu-satunya FinTech yang ada di Indonesia saat itu. Saya bahkan tidak berpikir untuk memulai bisnis teknologi. Saya hanya memutuskan untuk berhenti bekerja. Kemudian saya ingin membangun bisnis terkait pinjaman. Saya berpikir karena banyak orang Indonesia memiliki pernikahan impiannya, mungkin saya sebaiknya memiliki bisnis terkait pinjaman untuk pernikahan. Itulah ide yang saya gunakan untuk berhenti dari pekerjaan saya. Hal ini terjadi di akhir tahun 2014.Pada akhirnya, ide itu perlahan berkembang, menjadi Taralite, yang merupakan perusahaan peer-to-peer lending yang berfokus pada pedagang e-commerce. Kurang lebih begitu ceritanya.

ALAN 9:44
Menarik sekali, Bram, Anda tidak mengambil jalan yang biasa. Anda tidak menjadi akuntan. Anda tidak menjadi pengacara. Anda menyebutkan kata gagal beberapa kali? Apa yang menyemangati Anda untuk berwirausaha lagi? Apakah itu optimisme terkait kemampuan Anda? Apa saja rahasia agar kita dapat menerima kegagalan berkali-kali?

BRAM VIKTOR 10:05
Pertanyaan yang sangat bagus. Salah satu pertanyaan yang saya renungkan saat melakukan refleksi diri beberapa waktu yang lalu. Menurut saya jawabannya adalah perpaduan antara kebodohan saya dan kepercayaan diri saya yang luar biasa. Jika Anda memahami apa yang saya lakukan saat itu, mungkin Anda tidak akan menyarankan anak-anak Anda untuk melakukan apa yang saya lakukan. Karena startup (wirausaha) pertama saya adalah selai srikaya. Saya tidak tahu apakah Anda tahu roti panggang dengan selai srikaya di Singapura dan Malaysia. Itu ada pada hampir setiap sarapan tradisional. Saya ingin membuatnya, karena saya pikir saya bisa membuat selai srikaya yang sangat enak. Tidak ada orang yang bisa membuat selai srikaya seenak yang saya buat. Dengan ini, saya bertujuan menyuplai perusahaan pembuat roti terbesar di Indonesia dengan selai saya. Itulah ide untuk startup pertama saya. Bayangkan, saya berusia sekitar 17 atau 18 tahun saat itu. Saya tidak memiliki pengalaman kerja sebelumnya. Saya bahkan tidak memiliki resepnya. Sebenarnya, ini adalah resep dari ibu teman saya, dan saya mulai bereksperimen di rumah, kemudian saya mulai menghubungi perusahaan roti sampai mereka mengajak saya bertemu. Sejak saat itu hingga muncul sedikit harapan bahwa kami benar-benar dapat maju dengan hal ini, perlu waktu sekitar delapan bulan sampai ada perusahaan roti di kawasan industri yang berjarak satu jam dari Jakarta yang mengajak kami bertemu, juga dengan orang-orang R&D di sana, dan mencoba mempromosikan ide roti panggang selai srikaya. Jika saya melihat ke belakang, sebenarnya tidak ada harapan bahwa ini akan berhasil. Tetapi entah bagaimana saya hanya merasa ini bisa berhasil pada saat itu, yang menurut saya adalah karena saya bodoh. Begitu pula dengan startup kedua. Startup kedua saya tentang alternatif bahan bangunan yang disebut sebagai beton ringan. Saat itu, hal ini menjadi sesuatu yang menjanjikan di Indonesia. Saya berpikir bahwa saya juga memiliki kesempatan dan bisa membuatnya menjadi sukses, namun nyatanya saya melakukannya tanpa mengetahui bahwa banyak pemain sudah ada pada bidang tersebut. Saya juga tidak mengetahui bahwa pembuatannya sangat sangat sulit. Mengelola tenaga kerja juga sangat sangat sulit, dan tidak mengetahui dengan baik bahwa bisnis seperti ini akan sangat padat modal dan tidak akan pernah bisa berkembang. Berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya, saya pikir tidak ada penjelasan lain selain kebodohan saya dan juga kepercayaan diri saya yang menyebabkan hal-hal tersebut dapat saya lalui.

ALAN 12:08
Sekarang saya menyadari beberapa perjalanan wirausaha Anda sejak: Anda mulai dengan topping untuk sarapan, Anda kemudian beralih ke bahan bangunan ringan. Anda sepertinya bukan pemikir konvensional. Sekarang, Anda hadir bersama kami, karena kesuksesan Anda di Taralite. Bolehkah Bram bercerita mengenai bagaimana sebenarnya awal bisa kepikiran membangun bisnis seperti ini?

BRAM VIKTOR 12:30
Suatu hari setelah saya berhenti dari pekerjaan saya di Nomura, saya mencari tempat untuk bekerja. Kemudian teman saya memberitahu saya bahwa ada co-working space gratis di salah satu gedung perkantoran di Jakarta Pusat. Jadi saya benar-benar mulai mengerjakan ide itu sehari setelah saya berhenti, dan pada awalnya saya tidak tahu harus mulai dari mana. Sebagai awalan, sebenarnya saya sudah mencari beberapa partner. Jadi saya ingat, saya menghubungi sahabat saya saat itu. Sayangnya, dia tidak berpikir ide tersebut akan berhasil. Jadi dia tidak tertarik untuk bekerjasama. Selain itu, ada beberapa orang lain yang saya hubungi untuk bekerjasama juga menolak ajakan saya. Pada akhirnya, saya harus mulai sendiri.

ALAN 13:10
Sangat menarik. Jadi begitulah cara Anda sampai pada titik untuk memulai perusahaan FinTech. Bole ceritakan lebih banyak tentang masa awal Taralite dan bagaimana akhirnya bisa berhasil?

BRAM VIKTOR 13:21
Ketika saya mulai, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, Taralite adalah ide pembiayaan pernikahan. Jadi idenya adalah mendanai pernikahan. Saya bahkan belum tahu model bisnis yang tepat saat itu. Ini bukanlah sesuatu yang harus dilakukan oleh pengusaha baru. Jadi saya salah saat memulai. Karena anugerah Tuhan, maka saya tidak gagal. Tapi itu jelas bukan awal untuk startup yang ideal. Beberapa minggu pertama dihabiskan untuk lebih memahami apa yang pelanggan inginkan. Pada saat yang sama, saya juga melihat model bisnis berbeda yang mungkin bisa berhasil. Jadi saya melihat pilihan menjadi agregator untuk perusahaan dan pelanggan jasa keuangan. Saya hanya ingin menjadi perusahaan pemberi skor kredit. Ini semua adalah opsi yang terpikirkan saat itu. Hingga pada akhirnya, saya berkesimpulan pada dua titik balik, yaitu nomor satu: ketika saya berbicara dengan William Tanuwijaya, yang akhirnya menjadi mentor saya dan angel investor saya (di Taralite). Yang kedua adalah ketika saya berbicara dengan Cyberagent Ventures, yang akhirnya menjadi seed investor kami. Jadi ketika saya berbicara dengan William, dalam pertemuan pertama kami, saya ingat bahwa dia memberitahu saya bahwa gagasan saya sepertinya dapat berkembang menjadi seperti Ant Financial pada saat itu. Sebuah perusahaan yang tidak hanya melakukan pembayaran, tetapi juga meminjamkan ke pedagang Alibaba, karena visi kami di Taralite saat itu adalah membebaskan orang dari kekhawatiran finansial. Kami berharap dapat menjangkau siapa saja yang kurang terlayani, dan pedagang e-commerce pasti adalah salah satu kelompok orang yang kurang terlayani oleh lembaga keuangan. Lalu saat saya bertemu dengan tim Cyberagent di Jakarta, mereka juga memberikan tanggapan yang sama. Mereka mengira ini akan berkembang menjadi seperti Alipay. Saat itu Ant Financial belum menjadi Ant Financial. Masih bernama Alipay, dan Alipay, seperti yang kita ketahui saat itu, memberikan pinjaman ke pedagang Alibaba. Jadi menurut saya kedua orang ini memberi saya keyakinan bahwa model bisnis yang tepat untuk dikejar adalah dengan fokus pada sekelompok orang, yaitu pedagang e-commerce, dan fokus pada layanan pinjaman untuk mereka. Baru kemudian sejak itu, kami memutuskan untuk sepenuhnya beralih dari ide pembiayaan pernikahan ke pemberian pinjaman pada pedagang e-commerce, yaitu Taralite.

ALAN 15:29
Sisanya, seperti yang orang bilang, adalah sejarah. Sekarang, Ovo akhirnya mengakuisisi Taralite. Apakah itu benar?

BRAM VIKTOR 15:35
Itu benar. Tahun 2018, kami berbicara secara intensif dengan tim Ovo. Saya ingat, saat saya dan mitra saya, tim manajemen Taralite, yakin bahwa itu akan menjadi keputusan yang tepat untuk bergabung bersama Ovo adalah ketika kami menyadari bahwa misi kami dapat dicapai lebih cepat melalui kemitraan dengan Ovo. Kami juga percaya bahwa Ovo, dengan potensi pengembangan dan keluasan cakupan pelanggan yang dimiliki, dapat mempercepat Taralite untuk menjangkau orang-orang yang kurang terlayani. Maka kami akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Ovo.

ALAN 16:08
Jika saat ini kita bisa mempercepat keputusan Anda untuk pindah dari Taralite: apa yang sebenarnya terjadi di balik keputusan itu?

BRAM VIKTOR 16:15
Jadi ketika kami bergabung dengan Ovo, kami semua sebenarnya berpikir untuk tetap di perusahaan untuk waktu yang lama. Jadi tidak ada dari kami yang berniat keluar dari perusahaan. Saya ingat saya pernah memberitahu CEO Ovo, bahwa bahkan jika mereka mengeluarkan pembayaran (saham) saya selama 10 tahun ke depan, tidak akan ada bedanya bagi saya, karena saya sama sekali tidak berniat meninggalkan perusahaan. Niat saya adalah tetap di perusahaan selama saya bisa. Tetapi ketika kami akhirnya bergabung dengan Ovo, ada hal-hal yang tidak saya pikirkan yang mulai muncul di benak saya. Kami, misalnya, pindah dari perusahaan dengan 60 orang ke 600 orang di Ovo karena tim kami digabungkan. Terus terang saya belum pernah bekerja di perusahaan besar seperti itu sebelumnya. Jadi saya ingat bahwa pikiran untuk berhenti mulai muncul di benak saya ketika saya menyadari bahwa motivasi saya dalam hidup, setidaknya saat itu, adalah menjadi pengusaha yang lebih baik dan pemimpin yang lebih baik. Saya merasa kesulitan menghubungkan aspirasi tersebut dengan pekerjaan harian saya di Ovo. Tentunya di Ovo saya belajar banyak hal. Kemudian saya mulai berpikir dan merefleksikan diri apakah Tuhan mungkin menginginkan saya untuk melakukan hal lain. Saya mulai berdiskusi dengan istri saya. Saya juga berbicara dengan mentor saya, William. Dari situ, setiap orang yang saya tanyai cukup terkejut. Mereka juga mencoba memberi saya masukan seobjektif mungkin. Maka saat itulah saya mulai menyadari bahwa saya merasa terpanggil untuk hal lain, yaitu perjalanan startup lainnya. Keputusan untuk berhenti tersebut akan mengorbankan seluruh pembayaran (saham) saya, karena pembayaran saya baru bisa dikeluarkan setelah tiga tahun, dan saya hanya mengambil sedikit uang di awal. Jadi ini menjadi keputusan yang mahal jika saya benar-benar memutuskan untuk berhenti. Tetapi saya pikir, pada akhirnya, saya menyadari bahwa uang tidak benar-benar memotivasi saya. Menjadi pengusaha yang lebih baik, pemimpin yang lebih baik, adalah hal yang benar-benar memotivasi saya. Saat itulah saya memutuskan bahwa saya harus berhenti dan memulai sesuatu yang lain. Dan pada saat itu, saya belum tahu harus mulai dari mana, jujur ​​saja.

ALAN 18:09
Ini membawa saya ke pertanyaan berikut, yaitu: bagaimana Anda beralih dari P2P lending di Taralite ke startup Anda saat ini, Hangry, yang merupakan multi-brand virtual restaurant, dan jelas berada di area yang sama sekali tidak terkait.

BRAM VIKTOR 18:26
Hal ini juga cukup menarik buat saya. Seperti yang Anda sebutkan sebelumnya, saya pikir saya memang pandai melihat peluang sejak masa kuliah. Perilaku ini bisa dibilang karena saya tumbuh di keluarga yang pernah mengalami krisis keuangan sebelumnya, jadi saya hanya ingin berhasil secara finansial, dan itulah motivasi ketika saya memulai Taralite. Ketika saya memulai dua usaha pertama yang saya lakukan dan tidak berhasil, motivasinya adalah karena saya melihat peluang dan kesempatan untuk menjadi besar. Sama dengan Taralite. Perbedaannya adalah saat itu saya sadar bahwa saya memiliki ketertarikan untuk menjadi pengusaha. Tetapi mengapa saya memilih untuk berwirausaha ada layanan keuangan adalah karena saya melihat peluang. Itulah mengapa saya melakukannya. Setelah saya keluar dari Ovo untuk memulai proses berwirausaha, saya melakukan brainstorming, dan banyak ide masih memiliki kerangka yang sama. Maka saya mencari ide yang bisa menjadi besar. Saya terpikirkan perdagangan sosial, logistik, dan cloud kitchen-as-a-service. Jadi saya terpikirkan segala macam hal. Tapi ada satu hal yang hilang dari kerangka saya. Dan hal itu, menurut saya, adalah sesuatu yang baru saya sadari saat perjalanan "baby-moon" dengan istri saya. Hal yang saya maksud adalah "founder fit to the idea". Satu hal yang pasti ada saat di Taralite adalah bahwa saya mampu melihat peluangnya, tetapi saya rasa tidak ada founder fit yang cocok antara Bram dan idenya. Ketika saya menyadari hal tersebut, saya mencoba mencari ide bisa cocok dengan saya. Maka pertanyaannya adalah, apa industri atau produk yang paling saya sukai? Kebetulan saya seorang foodie. Saya sangat menyukai makanan. Saya tahu sedikit cara memasak, tetapi saya sangat jelas tahu cara membedakan makanan yang luar biasa dan tidak. Maka F&B adalah industri yang hampir tidak ada batasannya. Ada perusahaan yang menghasilkan pendapatan sekitar $ 20 miliar per tahun, seperti McDonald's. Ada juga perusahaan yang sangat kecil. Nah, sekarang idenya sudah memiliki founder fit. Kemudian, industrinya juga memiliki potensi pasar yang sangat besar tanpa batasan. Oleh karena itu, saat itulah saya yakin bahwa saya harus berfokus pada wirausaha terkait makanan. Kemudian keyakinan saya ditegaskan kembali ketika saya bertemu dengan William. Saya cerita dengan William mengenai ide saya. Saya ingat dia tertawa dan mengatakan kepada saya bahwa "akhirnya, Anda menemukan apa yang sebenarnya harus Anda lakukan." Jadi saya rasa mentor saya cukup mengenal saya hingga bisa berkata seperti itu.

ALAN 20:51
Lanjut Bram, kesulitan seperti apa yang Anda hadapi dalam memulai perusahaan seperti Taralite, dan yang terbaru, Hangry?

BRAM VIKTOR 21:00
Kesulitannya berbeda antara apa yang saya hadapi di Taralite dibandingkan dengan apa yang saya hadapi di Hangry. Jika ada kesulitan yang sama, menurut saya yang pertama adalah menemukan product-market-fit. Menemukan product-market-fit sangat sulit, karena setiap wirausahawan bias, bukan? Kami pikir produk kami bagus, dan kami memproyeksikan produk kami kepada pelanggan. Jadi, produk yang bagi kami bagus atau dianggap baik juga bagi pelanggan, padahal mungkin tidak. Sayangnya, banyak orang terjebak pada hal ini dan percaya bahwa produknya sudah mencapai product-market-fit padahal belum. Terutama ketika pendiri berhasil mengumpulkan pendanaan untuk mendukung keberlangsungan perusahaan untuk sementara waktu. Jadi bagi kami saat itu di Taralite, saya tidak tahu produk apa yang cocok dengan pelanggan, dan saya menjelajahi banyak hal, mulai dari pembiayaan pernikahan hingga pembiayaan pembelian mobil sebelum akhirnya, kami menemukan bahwa ada yang membutuhkan pinjaman pedagang untuk e-commerce. Hangry pun sama. Kami memikirkan berbagai macam produk, dari ayam goreng Indonesia hingga beef bowl Jepang. Namun perjalanan menemukan product-market-fit selalu menjadi tantangan. Ya, tantangan yang paling penting untuk dilewati. Kemudian tantangan kedua adalah menemukan mitra atau orang yang tepat. Ini adalah salah satu bagian tersulit, bahkan lebih sulit daripada menemukan product-market-fit, karena sulit menemukan orang yang memiliki visi yang sama dan memiliki nilai yang sama.

ALAN 22:23
Melanjutkan pertanyaan tersebut, dalam membangun perusahaan, apa yang masih menjadi bagian tersulit dari proses rekrutmen?

BRAM VIKTOR 22:31
Satu-satunya tantangan terbesar dalam perekrutan adalah merekrut level kepemimpinan, karena jika Anda melihat susunan budaya perusahaan, biasanya budaya perusahaan dimulai oleh para pendirinya. Jadi para pendirinya akan menentukan budaya perusahaan. Kemudian ketika perusahaan tumbuh, level orang paling berpengaruh kedua yang menentukan budaya perusahaan adalah para pimpinan, karena para pimpinan pada akhirnya akan merekrut orang-orang yang memiliki nilai yang sama dengan mereka. Jadi bagi kami, karena kami memiliki ekspektasi yang tinggi, dan kami memiliki ambisi besar, kami juga harus merekrut dengan cepat; tantangannya menjadi bagaimana mempekerjakan orang yang sangat mampu, pekerja keras, sangat sangat tangguh, sangat baik dan berorientasi pada pelanggan, tetapi pada saat yang sama memiliki DNA yang sama dengan kami. Jadi itulah satu-satunya tantangan terbesar menurut saya.

ALAN 23:22
Nah, Bram, Anda telah membagikan beberapa anekdot yang benar-benar menarik seputar kedekatan Anda dengan William, Pendiri Tokopedia. Menurut Anda, apa nilai tambah terbesar dalam bekerja dengan konstituen besar lainnya, yaitu perusahaan Venture Capital? Nilai tambah apa yang mereka berikan kepada Anda?

BRAM VIKTOR 23:40
Hmm. Terkait dua nilai tambah terbesar yang kami dapatkan dari VC, menurut pengalaman saya, bagi saya dan tim pendiri, adalah pertama, VC yang baik selalu memberi kami tamparan di pipi kanan dan kiri untuk menyadarkan kami ketika kami tidak melihat semuanya secara benar. Misalnya, saya sering mengobrol dengan Eko dari Alpha, di mana Eko akan menantang pemikiran kami tentang cara kami memandang bisnis. Setiap pengusaha dan tim pendiri akan terjebak ke dalam perangkap karena terlalu fokus dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, dan kehilangan helicopter view. VC memiliki keistimewaan untuk dapat melihat sesuatu dari helicopter view. Saya pikir VC yang baik selalu menyadarkan para pendiri untuk memastikan bahwa mereka selalu melihat hal yang sebenarnya terjadi. Jadi kami benar-benar menikmati tantangan dari Eko pada waktu lalu. Kami juga telah melakukan banyak percakapan dengan tim Surge, terkait tantangan yang mereka berikan, misal terkait unit ekonomi kami. Dari sudut pandang mereka, pertumbuhan menjadi segalanya. Pertumbuhan yang menguntungkan adalah hal yang perlu dipenuhi. Tidak hanya membuat kami menyadarinya, mereka juga mulai menawarkan pilihan berbeda yang dapat kami eksplorasi hingga ke titik tersebut. Menurut saya yang pertama, VC yang baik selalu mengarahkan kenyataan kepada para pendiri, karena para pendiri mungkin tidak melihat kenyataan tersebut. Kedua, VC yang baik juga berempati. Inilah perbedaan antara VC yang murni kapitalis, secara harfiah melihat wirausahawan sebagai angka dan dalam cara transaksional, dan VC yang berusaha menjadi mitra. Kenyataannya adalah menjadi pengusaha itu sangat sulit. Tidak bermaksud cengeng, tapi jujur ​​saja, memang ini sulit. Seringkali, kami tidak tahu harus berbuat apa. Kami menemui jalan buntu di sana-sini. Kami mencari tahu seiring dengan saat kami melakukannya. Dan jika, katakanlah, setiap VC yang bermitra dengan kami, memperlakukan kami dengan baik, hanya ketika kami berkembang dengan baik, dan tidak menganggap kami ketika kami tidak berkembang, maka tidaklah menyenangkan berada di hubungan seperti itu. Jadi saya pikir VC yang baik adalah sekelompok orang tetap mendukung kami jika kami tidak berkembang dengan baik, dan berempati dengan kesulitan yang kami hadapi.

ALAN 25:47
Bram, ceritakan lebih banyak tentang Hangry dan bagaimana posisinya sekarang dan bagaimana harapan Anda.

BRAM VIKTOR 25:52
Hangry dimulai dengan sebuah aspirasi, bahwa suatu hari orang akan menikmati merek (produk) Hangry di seluruh dunia setiap harinya. Kami melihat merek-merek F&B yang berhasil mencapai hal tersebut secara global; seperti McDonald's, Starbucks, dan semua merek yang didirikan pada tahun 1920-an dan 1950-an. Saya pikir generasi sekarang telah berubah. Saya mewakili generasi saya. Kami adalah generasi yang banyak menuntut. Kami menginginkan keunggulan dalam segala hal. Kami menginginkan makanan yang sangat baik, produk yang sangat baik, pelayanan yang sangat baik. Kami juga ingin merek (produk) yang dapat memiliki kedekatan dengan kami. Kemudian kami percaya bahwa kami dapat menyediakan merek-merek seperti itu dan membuatnya mendunia, hingga pada akhirnya orang-orang dapat menikmati makanan dan minuman kami ke mana pun mereka pergi. Itulah mengapa misi kami adalah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Kami memperkirakan bahwa "orang" yang kami maksud dalam pernyataan misi ini akan berkembang menjadi penduduk global. Itulah cita-cita kami. Kami memulai dari yang kecil. Kami memulai dengan beberapa merek berfokus pada layanan delivery-only di Indonesia. Makanan kami adalah makanan yang orang makan setiap hari. Kami berharap untuk dapat memulai ekspansi ke luar negeri pada tahun 2022 dan seterusnya.

ALAN 27:05
Lanjut ke hal lain, Bram, stres terbesar yang disebabkan oleh COVID-19 ke bisnis Anda?

BRAM VIKTOR 27:12
Berdasarkan yang kami ketahui, sepertinya industri F&B di Indonesia secara keseluruhan telah menurun. Pangsa pasar tidak loyal dalam membelanjakan uangnya untuk makanan seperti dulu sebelum COVID. Dan tentu saja, ini berkaitan dengan fakta bahwa banyak pendapatan yang berkurang. Bisnis tidak berjalan dengan baik seperti sebelumnya. Banyak orang di-PHK. Orang-orang memilih  pemotongan gaji, jadi orang tidak punya uang sebanyak dulu. Dan bagi kami, kami masih bertumbuh. Tetapi kami tidak bisa tidak memikirkan seberapa cepat kami akan tumbuh, jika tidak ada COVID. Bagi kami, COVID jelas bukan kejutan yang menyenangkan, terutama karena kami memiliki banyak proses dapur offline yang tidak dapat dialihkan ke cloud. Beberapa hal yang harus kami terapkan secara tiba-tiba adalah bekerja dari rumah. Itu berarti kami harus melakukan banyak hal yang sebelumnya kami lakukan secara offline, menjadi online. Misalnya, kami telah merekrut banyak staf dapur untuk outlet kami yang harus kami rekrut secara offline, dan kami juga harus melatih mereka secara offline. Kemudian kami telah melakukan orientasi untuk perekrutan staf dapur baru secara offline dengan melakukan pelatihan kelas, dan kemudian melakukan simulasi dapur, dan segala macam hal yang harus dilakukan di lokasi. Kami harus mengalihkan sebagian besar kegiatan tersebut secara online secepat mungkin. Ini adalah anugerah sekaligus musibah. Musibahnya adalah kami terkejut dalam beberapa minggu pertama karena kami dipaksa melakukannya. Tapi melihat ke belakang, saya pikir kami telah beradaptasi sebagai sebuah perusahaan. Saya pikir tim kami pantas mendapatkan semua pujian untuk itu, bagaimana sekarang, mungkin 90% dari proses perekrutan dan proses orientasi dapat dilakukan secara online. Dan itu adalah sesuatu yang tidak pernah kami duga akan dapat kami lakukan sebelumnya. Tetapi saya pikir COVID telah menghadirkan tantangan bagi beberapa anggota tim kami juga secara mental. Beberapa orang merasa kesepian dan saya pikir banyak juga yang merindukan bekerja di kantor. Jadi, kami dipaksa untuk mencoba melakukan hal yang berbeda untuk memastikan tim dapat bersemangat kembali, tetap menikmati pekerjaan mereka, dan orang-orang akan tetap bekerja dengan motivasi yang sama seperti sebelumnya. Jadi kami meluncurkan berbagai hal seperti Weekly Business Review, tempat seluruh tim dapat bertemu, dan kami mencoba melakukan komunikasi dan koordinasi setiap hari. Ini adalah hal-hal yang biasa kami lakukan. Tapi sekarang kami lebih disiplin melakukannya karena kami menyadari bahwa satu orang perlu bertemu orang lainnya juga. Dan ketika mereka melihat bahwa semua orang terpacu untuk memajukan perusahaan, maka mereka akan termotivasi untuk bekerja.

ALAN 29:37
Bram, saya menghabiskan sebagian besar karir saya menjadi pendukung perusahaan internet dan e-commerce di Tiongkok. Dan tampaknya ada pola umum yang dimiliki China beberapa tahun lalu, dan oleh sebagian besar pasar Asia Tenggara saat ini. Banyak pengusaha pertama kali yang kembali dari studi luar negeri. Sekarang individu seperti Anda dan salah satu mentor Anda yang lebih berpengaruh, William Tanuwijaya di Tokopedia, adalah apa yang Anda sebut "100% homegrown." Bagaimanakah wajah kewirausahaan Indonesia berkembang dalam beberapa tahun mendatang?

BRAM VIKTOR 30:08
Saya percaya bahwa pengusaha akan menciptakan pengusaha. Itulah yang dikatakan mentor saya. Setidaknya dari kedekatan saya dan mentor saya, saya bisa melihat hal itu terjadi. Saya pikir dia adalah mentor saya yang paling berpengaruh sampai sekarang. Saya melihat, mungkin di masa depan, semua perusahaan teknologi yang kita lihat saat ini, termasuk Hangry, akan melahirkan lebih banyak lagi wirausahawan. Sebenarnya jika kita melihat komposisi orang-orang yang bekerja di Hangry, mungkin 99% -nya adalah orang-orang yang pernah menempuh pendidikan di Indonesia: homegrown. Dan karena menurut saya secara statistik, ada lebih banyak orang yang berpendidikan di sistem pendidikan Indonesia daripada orang yang cukup beruntung untuk belajar di luar negeri. Jadi menurut saya kedepannya akan semakin banyak wirausaha yang tumbuh di dalam negeri.

ALAN  30:53  
Baik, Bram, dalam mengembangkan perusahaan Anda kini, apa satu faktor yang menurut Anda paling kurang di ekosistem yang ada sekarang?

BRAM VIKTOR  30:59  
Dalam benak saya, mungkin satu hal yang kurang, jika saya membandingkan posisi kita di Indonesia dengan Silicon Valley, adalah bagaimana sikap kita dalam menghadapi kegagalan. Saya telah bertemu dengan beberapa pengusaha Silicon Valley yang gagal. Beberapa dari mereka menjadi mitra YC, dan kemudian beberapa dari mereka memutuskan untuk memulai perusahaan lain. Saya melihat mereka mengapresiasi kegagalan dengan rasa hormat dan kekaguman. Ini adalah sesuatu yang menarik bagi saya. Karena saat ini, jika saya melihat orang-orang di sekitar saya, saya kira kegagalan masih kurang dihargai di sini. Saya pikir ekosistem di Indonesia adalah salah satu tempat kesuksesan sangat dirayakan. Dan kegagalan dipandang rendah, yang cukup menyedihkan, karena itu berarti 99% wirausahawan yang memutuskan untuk memulai perjalanan startup mungkin tidak akan diperlakukan dengan baik ketika mereka gagal ... dan 99% orang akan gagal. Sebenarnya, ada garis tipis antara kegagalan dan kesuksesan. Seringkali, itu hanya keberuntungan. Itulah mengapa saya berpikir jika, katakanlah saya berharap satu hal berubah, saya berharap ekosistem kita akan memperlakukan kegagalan dengan lebih ramah, hormat, dan kagum, daripada meremehkan kegagalan ini.

ALAN  32:10  
Wow, pemikiran yang sangat menarik. Apa masukkan terpenting yang bisa Bram bagikan kepada para wirausahawan?

BRAM VIKTOR  32:17  
Mungkin saya akan menjawab dengan dua hal. Masukkan terpenting pertama adalah product-market-fit, atau yang pelanggan sukai adalah segalanya. Banyak pengusaha yang saya temui memiliki aspirasi besar. Mereka punya impian besar, ambisi besar. Mereka juga memiliki model bisnis yang menarik di benak mereka. Tetapi banyak yang tidak memikirkan dari sisi pelanggan. Sedangkan bisnis paling sukses di dunia adalah bisnis yang berorientasi pada pelanggan. Saya langsung teringat Amazon ketika saya mengatakannya, karena Amazon adalah kesaksian hidup tentang bagaimana orientasi pada pelanggan membawa kesuksesan. Itu hal pertama. Kedua adalah sesuatu yang dikatakan William kepada saya, dan dia mengatakan kepada saya bahwa kita harus fokus melakukan hal yang benar. Ini mungkin tampak sepele, tetapi sebenarnya cukup rumit untuk berlatih setiap hari secara konsisten. Salah satu contoh yang akan saya pilih adalah bagaimana banyak pendiri memutuskan untuk mengalokasikan mungkin 10 hingga 15% dari perusahaan mereka sebagai ESOP, yang merupakan praktek pada umumnya. Tetapi jika prinsipnya adalah: kita harus berbagi keuntungan, untuk memberikan kredit kepada mereka yang benar-benar berusaha, maka menurut saya 10 hingga 15% dari sebuah perusahaan sebagai kumpulan ESOP tampaknya cukup kecil. Apa yang dikatakan William kepada saya adalah bahwa saya tahu, jauh di lubuk hati saya, bahwa perusahaan ini bukan untuk saya. Perusahaan ini adalah apa yang Tuhan telah percayakan kepada saya, untuk pelanggan kita dan untuk karyawan kita, dan juga untuk pemegang saham kita juga. Kami pasti harus bermurah hati dengan ESOP kami. Jadi menurut saya itu adalah salah satu masukkan terbaik yang pernah saya terima, yaitu selalu melakukan hal yang benar, bahkan ketika itu bukanlah hal yang umum.

ALAN  33:56  
Saran yang bagus, dan senang mendengar cerita Anda dengan lebih luas, Bram. Benar-benar membuka pemikiran dan menginspirasi. Kami berharap dapat mengikuti karya luar biasa Anda sebagai salah satu pengusaha serial pertama di negara ini. Sekian artikel Indo Tekno yang ke-11, terima kasih banyak telah bergabung bersama kami hari ini Bram.

BRAM VIKTOR  34:12  
Dengan senang hati. Terima kasih atas kesempatannya, Alan.

ALAN  34:15  
Podcast diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Alpha JWC Ventures. Terima kasih sudah mendengarkan. Sampai jumpa lagi!

===================

ENGLISH VERSION

ALAN 0:10
Welcome to all of our listeners to our 11th episode of Indo Tekno. Selamat datang semuanya. I'm Alan Hellawell, Founder of startup advisory firm Gizmo Avisors, and Venture Partner at Alpha JWC Ventures. For our Indonesian listeners: pendengar Indonesia dapat membaca transkrip Bahasa Indonesia kami. In order to set the stage for this week's guest, I find it useful to go back to the original mission of the Indo Tekno podcast. We created this series: 1) in order to raise the profile of the technology ecosystem in Indonesia, 2) to add a new analytical voice to Indonesia's technology scene, 3) to profile emerging business models that could grow into multibillion dollar sub sectors and 4) to make accessible to everyone the insights of Indonesia's leading tech innovators.

In welcoming Abraham "Bram" Victor, the co founder and CEO of Indonesia's first multi-brand virtual restaurant company Hangry, we are in my mind accomplishing all four goals at once. Bram is best described in my mind as amongst the first crop of Indonesia's true serial entrepreneurs. Unlike Silicon Valley, whose dominance in the tech world began shortly after World War Two, or China's Zhongguancun Park up in Beijing, which came to life in the mid-90's, Indonesia's entrepreneurial tech scene is by most measurements, no more than a decade old. And thus, it is still in a much more formative period. It is early entrepreneurs such as Bram, that I believe are shaping the entrepreneurial experience in Indonesia. And it is thus a pleasure to have you join us today Bram. If you don't mind Bram, let's just take it from the top. Please give us a sense of your background.

BRAM VIKTOR 1:50
Sure, I would love to. I was born and raised in Indonesia. I was studying in Indonesia from kindergarten all the way through college. And I would say that my experience growing up was probably similar to a lot of other people out there. So I went through National School studying 18 subjects at once, which was a lot, frankly. And then I went to a local university that was owned by the government, and I explored different things. But I think one thing that I realized since I was starting my schooling year was that I probably didn't fit the system, because I studied accounting, as recommended by my Asian parents. And the reason why they recommended me to study accounting is because they told me that there are only two majors that would lead to easiness in finding a job, which is Accounting and Law. So I heard back then that doing finance would earn a lot of money. And that's why I decided to take accounting rather than law, because I thought it would be closer to finance. Alan, becoming someone like you was my dream before I entered college. So that's the mindset I had when I was enrolling in my university years. And I think I remember that starting from the first month in college, I actually already started realizing that probably I had picked the wrong major, because I already struggled in my preliminary accounting studies. And I couldn't really imagine how I would last for four years studying accounting. So, in my college years, I would say that college was my most formative year throughout my academic career. One thing that I realized is that studying in college doesn't represent real life at all, because whatever I studied in college is totally different from what I experienced after I graduated from college. So one thing that I'm grateful I did when I was in college was that I decided to plunge myself into entrepreneurship for the first time. So the story was that I actually struggled a lot in college. My GPA was below three, unfortunately, to the point that I had to lie to my parents every time they asked me about my GPA. And because my GPA was below three, I realized that my chance of getting into good companies was pretty slim. So I tried finding my own path, so that I could succeed in ways that don't require me to have to apply to the typical companies that students would want to apply to after they graduate, like the big four accounting firms, for example. So I tried betting my fortune on some entrepreneurial gist. I remember that I tried doing food business around the eighth semester of my study in college. And that was my first dip into entrepreneurship. I learned a lot, but it ended up in failure. I didn't give up because of that. I started another business after that. And because of this business, I had to graduate college only after five years, and this one also ended up in failure. So I would say that from my childhood, all the way to college, I think in my life was sprinkled with different failures here; failure in an academic sense and also failure in even dipping my toes in entrepreneurship the first two times that I did it. So that's sort of the background that I have. So after the second attempt doing a startup before I graduated from college, I decided that maybe I was not destined to be an entrepreneur, and I decided to finally finish my study in college and started applying for professional jobs.

ALAN 5:02
So Bram, a lot to unpack there. My first concern is: I assume your parents will listen to this podcast. And have you mentioned to them yet that you got a below 3.0 GPA?

BRAM VIKTOR 5:17
Thankfully, I managed to somehow turn it back to slightly above 3.0 in the last semester; in the 10th semester to be exact. So I graduated with 3.1 instead of below three, thank God:

To continue the story that I shared earlier: after I failed for the second time, I finally decided to do my final project in college, which was a thesis. I finally graduated after five years. I think my parents were extremely thankful for that and I decided that I will not ever attempt entrepreneurship again, because after I failed for the second time, I was pretty traumatized. And at that time, my friends were already earning good money working at prestigious companies like McKinsey, BCG and Deutsche Bank; and there I was with $20 in my bank account, and no working experience, no prospect of entering a company at all. But I wanted to make it. So I tried graduating, which I finally did. And I tried applying for jobs. My friend at a consulting firm called BCG offered me an internship there. So I interned in BCG as my first ever professional career. So there I was learning about making slides. I was learning about being professional. I was sharpening my thinking, and being more structured in my communication and whatnot. I think it was one of the best professional experiences ever. I think most of the credits would go to my mentor in BCG at a time. And while I was in BCG, I was still looking for an investment banking job, because what I knew at that time was that investment banking was the highest paying job. So I wanted to go for it. And after interviewing with a lot of companies, it was a very tough journey to get to the investment banking, but thank God, He gave me the opportunity eventually. So I joined Nomura investment bank. That was my first full time job ever. So it wasn't an internship anymore. It was a real full time job that paid very well. So I started investment banking as an analyst around the beginning of 2014. And I remember that when I got the offer letter (and this time, it wasn't rescinded) it felt like liberty for me, that finally I was financially secure. And I started the job. I really enjoyed the first one month there. I would say, I learned a lot working with smart people. Doing live deals was very thrilling. But unfortunately, after the second month, I think I started realizing that I may not fit the job because investment banking is a very rigorous job in terms of detail. And I'm not a detailed person. The only thing I was looking forward to was just a payday, nothing else. So it was around the time when I I think I prayed a lot. I was reflecting a lot. And I realized that maybe I may still be called to be an entrepreneur because even though I failed twice, I actually did fairly well. It didn't materialize into anything, but as a 17 or 18 year-old at that time, I showed some promise that I may be built for it. So it was around that time when I started entertaining the idea of being an entrepreneur again, and in parallel, I was doing a bit of research on what could be worth doing. And somehow when I was in investment banking (I think this was probably God's plan), I was placed a lot on financial services deals. So I did a lot of financial services deals. And that opened my eyes to how the financial service companies operate and also opened my eyes about the lack of financial inclusion in Indonesia. So the seed of doing financial services-related business came to my mind, I think around mid 2014. And I started doing more research about it. I would say most of my effort was on self reflection and praying, just to be sure where God is calling me to go. And it was end of 2014 when I was convicted that I am called to quit Nomura and embark on this new journey as an entrepreneur again, doing financial services. And at that time, FinTech was not a term that was even coined yet, at least in Indonesia. There was no peer-to-peer lending company yet in Indonesia. I think payment was the only FinTech thing that existed in Indonesia at that time. I didn't even think of doing a technology startup at first. I just decided to quit. And back then I wanted to do something in lending. And I was thinking that because Indonesians are very big with their weddings, maybe I should do wedding loans. So that was the idea that I quit my job with actually. And that was at the end of 2014. And in the end, that idea slowly evolved, and became Taralite, which was a peer-to-peer lending company focusing on e-commerce merchants. So that's the story.

ALAN 9:44
Fascinating, Bram, you definitely did not take the trodden path. You did not become an accountant. You did not become a lawyer. And you mentioned the word failure several times. What drove this entrepreneurial yearning? Was it optimism in your own skills? What are the factors behind being willing to fail time-and-again?

BRAM VIKTOR 10:05
That's a very good question. I reflected upon this question myself a while ago. And I think the answer to that, I would say is a mix between stupidity and also overwhelming self confidence, I think. So if you understand what I did back then, maybe you wouldn't advise your kids to do what I did. Because my first startup was about making kaya jam. I don't know if you know kaya toast in Singapore and Malaysia. It's present with almost every single traditional breakfast. And I wanted to make that, because I thought that I could make a very good kaya. And there was no one that could make as good a kaya jam as I could. And I wanted to supply the biggest bread manufacturing company in Indonesia with my jam. So that was the idea essentially, for my first startup. And mind you, I was around 17 or 18 years old at that time. I had no work experience ever before. And I didn't even own the recipe. Actually, this was my friend's mom's recipe, and I started experimenting at home with that, and I started cold calling the bread company until they wanted to meet me. And from that point until we got a bit of hope that we could actually work it out, it was eight months of driving to that bread company in an industrial area one hour from Jakarta, meeting with the R&D people there, and trying to pitch our kaya toast idea. And, most of the time, if I had looked back into hindsight, there wasn't any hope that this could ever work out, actually. But somehow I just felt that this could work out at that time, which is, I think, because I was stupid. And same goes with the second startup, actually. The second startup was about an alternative building material called lightweight concrete. Back then it was a thing in Indonesia to produce this thing. So I thought I could dip my toe into it and probably make it big, and I did it not knowing that a lot of players were already there, and not knowing that manufacturing is very, very hard. Managing labor is very, very hard, and not knowing as well that the business would be very capital intensive and would never be able to scale. So to you earlier question. I think there's no other explanation than, I would say, stupidity and also self confidence, I think.

ALAN 12:08
Now I'm well aware of some of your entrepreneurial journey since: you begin with a breakfast topping, you then move into lightweight building materials. You definitely don't seem to be a conventional thinker. Now, you came on to our radar screen, with your success at Taralite. Can you give us some background to how you ended up with that business plan?

BRAM VIKTOR 12:30
So, one day after I quit my job at Nomura, I was looking for a place to work. And my friend told me that there's this free co working space in one of the office buildings in central Jakarta. So I actually started working right away on the idea the day after I quit, and at first I didn't know where to start. And as a background, actually, I was already looking for several partners. So I remembered, I reached out to my best friend at that time. Unfortunately, he didn't think the idea was going to work. So he didn't want to be my partner. And then there were a couple of other persons whom I reached out to to be my partner that also turned down my invitation. And in the end, I had to start alone.

ALAN 13:10
Very interesting. And so that's how you arrived at this awareness to start a FinTech company. Can you tell us more about the early days of Taralite and how it came together?

BRAM VIKTOR 13:21
When I started, like I mentioned before, it was a wedding financing idea. So the idea was to fund people's weddings. And I didn't even know what the right business model was at that time. And this is not something, I guess, new entrepreneurs should do. So I started wrong. It was by God's grace that I didn't fail. But it was definitely not the ideal start of a startup. The first few weeks were spent understanding more what the customer wanted. And at the same time, I was also looking at the different business models that probably could work for us. So I was looking at the option of just being an aggregator for financial services companies and customers. I was looking at just being a credit scoring company. So these were all the options that I was thinking about. And at the end, I would say that the two turning points would be number one: when I talked to William Tanuwijaya, who ended up becoming my mentor and my angel investor. And the second was when I was speaking to Cyberagent Ventures, who ended up becoming our seed investor. So when I spoke to William, in our first meeting, I remember that he was telling me that the idea that I had seemed to be able to evolve into what Ant Financial was at the time. It was a company that not only did payments, but also lending to Alibaba merchants, because our vision at Taralite back then was to free people from financial worries. So we were looking forward to reaching out to anyone who is underserved, and e-commerce merchants definitely are one of the groups of people who are underserved by the financial institutions. And then when I went to meet with the Cyberagent team in Jakarta, they also gave the same feedback. They thought this was going to evolve to be like Alipay. Back then Ant Financial wasn't Ant Financial yet. It was still Alipay, and Alipay, as we knew at that time, lent to Alibaba merchants. So I think these two people give me conviction that the right business model to pursue is to focus on a group of people, which is ecommerce merchants, and focus on serving them via lending. And since then, we decided to switch completely from the wedding financing idea and focus on ecommerce merchant lending, which is Taralite

ALAN 15:29
The rest, as they say, is history. Now, Ovo ended up acquiring Taralite. Is that correct?

BRAM VIKTOR 15:35
That's correct. In 2018, we were talking intensively with the Ovo team. And I remember that, the point at which my partners, the management team of Taralite and I were convicted that it would be the right decision to go with Ovo was when we realized that our mission could be reached faster via the partnership with Ovo. And we believe that Ovo, with all its scale and the depth of customer data it has, would only accelerate Taralite in reaching out to people who are underserved. So that's when we eventually decided to sell to Ovo.

ALAN 16:08
If we could fast forward to your decision to move on from Taralite: what was behind that decision?

BRAM VIKTOR 16:15
So when we sold to Ovo, all of us actually, we were thinking of staying in the company for a long time. So none of us had the intention of quitting the company right after. And I remember I was telling the CEO of Ovo, that even if they were to spread my payout over the next 10 years, it would make no difference for me, because I didn't intend on leaving the company at all. My intention was to stay in the company for as long as I could. But when we eventually joined Ovo, there were things that I didn't think about that started coming to my mind. We, for example, moved from a 60-person operation to a 600-person operation in Ovo because our teams were merged. I frankly had never worked in such big companies before. So I remember that the thought of quitting started creeping up to my mind when I realized that my motivation in life, at least at the season, is to be a better entrepreneur and better leader. And I struggled connecting that aspiration with my daily work in Ovo. So I think in Ovo I learned a lot of things. I started thinking and reflecting on whether or not God may be calling me to do something else. So I remember that I started discussion with my wife. I also talked to my mentor, William, as well. And everyone I consulted with was, I would say, quite surprised. And they also tried to give me as objective advice as they can. And that's when I think I started realizing that I think I am called for something else, which is another startup journey. And that decision to quit would cost me my entire payout, because my payout was to be vested over three years, and I had only taken a bit of cash in the beginning. So that would have been a costly decision if I really decided to quit. But I think, at the end, I realized that money doesn't really motivate me. I think being a better entrepreneur, a better leader, is what really motivates me. And that's when I decided that I should quit and start something else. And at that time, I didn't know what to start yet, to be honest.

ALAN 18:09
That leads me to my next question, which is: how did you go from P2P lending with Taralite to your current startup Hangry, which is a multi-brand virtual restaurant, and clearly in an entirely unrelated area.

BRAM VIKTOR 18:26
I also find that thing quite fascinating. Like you mentioned before, I think I was wired to be opportunistic since college times. And I would say that that opportunistic behavior was cultivated because I grew up in a family that went through financial crisis before, so I just wanted to make it financially, and that had been the motivation up until, I would say, when I started Taralite. So when I started the first two ventures that I did that didn't work out, the motivation was because I saw the opportunity and I thought it could be big. And same with Taralite. I would say that the difference is that there was another realization that my personal calling is to be an entrepreneur at that time. But why I chose to do financial services was because I saw the opportunity. So that's why I did it. I would say that after that, when I quit Ovo to do my next thing, I was brainstorming, and a lot of ideas, still with the same framework. So I was looking for things that can be big. So I was looking at social commerce, I was looking at logistics, I was looking at cloud kitchens-as-a-service. So I was looking at all sorts of things. But there was one thing that had been missing from my framework. And that thing, I think, is something that I only realized when I was on my "baby-moon" trip with my wife. And that thing is called the "founder fit to the idea." So one thing that was definitely there when I was doing Taralite, was that I had seen the opportunity, but I don't think there was a strong founder fit between Bram and the idea. So, when I was realizing that eventually, I tried to look for ideas where I could have a fit. So the question is, what are the industries or the products that I am particularly passionate about? And it happens that I am a foodie. I love food so much. I know how to cook a bit, but I definitely know how to differentiate a winning product and not. And it just happens that F&B is an industry where there's almost no limit. So you see companies that make around $20 billion in revenue per year, like McDonald's. You also see companies that are also very small. So number one, it has the founder fit. And number two, it also has a very large market with no ceiling. So that's when I was convinced that I should definitely do food. And I would say that my conviction was reaffirmed again, when I met with William. So I shared with William my idea. And I remember him laughing and telling me that "finally, you discovered what you're truly called to do." So I guess my mentor knows me well enough to say that.

ALAN 20:51
And so Bram, what have been the common struggles you've faced in starting companies such as Taralite, and more recently, Hangry?

BRAM VIKTOR 21:00
I would say that the struggles are different from what I faced at Taralite compared to what I faced at Hangry. If I were to find a common trait, or common struggles between the two, I think number one, it would be finding product-market fit. That's number one. I think finding product market fit is very, very hard, because every entrepreneur is biased, right? We think our product is good, and we project ourselves to customers. So products that to us are good or assumed to be good to customers too, whereas they may not be. And unfortunately, a lot of people will fall into this trap of believing that their product has product-market fit when it doesn't, especially when the founder managed to raise a lot of money to sustain the company's life for a while. So for us back then at Taralite, I didn't know what product fit the customer, and I explored a lot of things, from wedding financing all the way to car financing before eventually, we discovered that people need merchant lending for e-commerce. And for Hangry it was the same. We were thinking of various kinds of products, from Indonesian fried chicken all the way to Japanese beef bowl. But the journey of finding product-market fit is always a challenge. I would say it is the most important challenge to tackle. I would say the second common challenge is finding the right partners or people. This is the single hardest part, I would say harder than finding product-market fit, because it's hard to find people that have the same vision and have the same values.

ALAN 22:23
Continuing that line of questioning, as you build your organizations, what remains the trickiest part of the company to hire for?

BRAM VIKTOR 22:31
I would say that the single biggest challenge in hiring is hiring the leadership team, because if you look at the makeup of company culture, typically culture at the genesis of companies is started by the founders. So the group of cofounders would determine the company culture. And then as the company grows, I would say that the second most influential group of people that determine the company's culture are the leaders, because the leaders would end up recruiting people that have the same values as them. So for us, because we have high expectations, and we have big ambitions, and we have to hire fast; the challenge became how to hire people who are very capable, who are hardworking, very, very tough, excellent and customer-obsessed, but at the same time have the same DNA as us. So that's the single biggest challenge, I would say.

ALAN 23:22
Now, Bram, you've shared some absolutely fascinating anecdotes around your relationship with William, the Founder of Tokopedia. What have you found to be the biggest value-add in working with another major constituent, which is the venture capital firms? What value add have they brought to you?

BRAM VIKTOR 23:40
Hmm. If I were to mention the two biggest value adds that the VCs have been adding, at least in my experience, to me and the founding team, is number one, good VCs always give us a slap to our right and left cheeks to wake us up when we're not looking at things right. So for example, I've had a lot of conversations with Eko from Alpha, where Eko would challenge our thinking on how we look at the business. And every single entrepreneur and cofounding team would fall under the trap of being too focused in doing the day-to-day work, and missing the helicopter view of things. And VCs have the privilege of looking at things from the helicopter point of view. And I think good VCs always wake the founders up to make sure that they always see the truth. So we really enjoyed being challenged by Eko in the past, I would say, six months. And also we've had numerous conversations with the Surge team, where they would challenge us on, let's say, our unit economics. From their point of view, growth becomes everything. Profitable growth is the way to go. And not only did they make us realize that, they also started offering the different options that we could explore that could lead us to that point. So I think number one, good VCs always point the founders to the truth, because the founders may not see the truth. The second thing is, I think good VCs also empathize, I think. So this is the difference between VCs that are purely capitalistic, literally seeing entrepreneurs as numbers and in a transactional way, and VCs that are seeking to become partners. The truth is that being an entrepreneur is very hard. I'm not being a crybaby here, but to be honest, it's very hard. And most of the days, we don't know what to do. And we have deadlocks here-and-there. And we're figuring things out along the way as we do it. And if, let's say, every VC that we partner up with, only treat us well, when our numbers show well, and treat us as no one when the numbers don't show up, it is not so nice to be in such an inauthentic relationship. So I think good VCs also are the group of people who would be there when we're not doing so well, and empathizing with the struggle that we have.

ALAN 25:47
Bram, tell us a little more about Hangry and where it is right now and where you hope it to be.

BRAM VIKTOR 25:52
Hangry was started with an aspiration, that people would one day enjoy Hangry's brands all over the world on a daily basis. So we've seen F&B brands that managed to reach such magnitude globally; the likes of McDonald's, Starbucks and all these brands that were founded in the 1920s and the 1950s. I think generations have changed. And I'm representing my generation. We are the generation that demands a lot in life. We want excellencies in everything. We want excellent food, excellent products, excellent service. And we want brands that we can relate to. And we believe that we can come up with such brands and go global, to the point that people can eventually enjoy our food and beverage wherever they go. And that's why our mission is to be a part of people's daily lives. And we foresee that the word "people" in this mission statement would be global citizens in general. So that's our aspiration. We are starting small. We're starting with multiple brands doing delivery-only service in Indonesia. Our foods are the typical foods that people would eat every day. And we expect to start going overseas starting from 2022 onwards.

ALAN 27:05
Moving on to something else, Bram, what are the biggest stresses that COVID-19 has brought to your business?

BRAM VIKTOR 27:12
Based on our intelligence, it seems like the F&B market as a whole in Indonesia has shrunk. So the market just doesn't spend as much money on food as it used to be for COVID. And of course, this has to do with the fact that a lot of disposable income is reduced. Businesses are not doing as well as before. A lot of people are laid off. People are taking salary cuts, so people don't have as much money as they used to. And for us, we are still growing. But we couldn't help but thinking how much faster we would grow, if there was no COVID. For us, COVID is definitely not a pleasant surprise, especially as we have a lot of kitchen operations that are offline that can never be taken to cloud. A few of the things that we had to implement abruptly was work-from-home. And that means we have to do a lot of things that we previously used to do offline, online. For example, we had been recruiting a lot of kitchen staff for our outlets that we had to recruit offline, and we had to train them offline as well. And then we had been doing our onboarding for new kitchen staff hires offline by doing classroom training, and then doing kitchen simulations, and all sorts of things that have to be done on-premise. And we had to shift most of those online as fast as we can at that time. I would say that it's both a blessing and a curse. The curse is that we were shocked in the first few weeks because we were forced to do it. But looking back, I think we've adapted as a company. I think our team deserves all the credit for that, how now, maybe 90% of the recruiting process and the onboarding process could be done online. And that's something that we never thought we would be able to do before. But I think COVID has presented challenges to some of our team members mentally as well. Some people just feel lonely and I think most people really miss working in the office. So, we were forced to try doing different things to make sure that the team would be refreshed, still enjoyed their work, and people would still be working with the same motivation as before. So we launched different things such as Weekly Business Reviews, where a lot of people could meet, and we tried to do huddles every day. These were things that we used to do in passing back then. But now we are more disciplined in doing it because we realized that people need to meet other people. And when they see that everyone else is pumped up about the company, then they would get motivated to work.

ALAN 29:37
Bram, I spent much of my career supporting internet and ecommerce companies in Greater China. And there seems to have been a common pattern shared by China many years ago, and by most of Southeast Asian markets these days. Many of the first entrepreneurs are returnees from overseas study. Now individuals such as yourself and one of your more influential mentors, William Tanuwijaya at Tokopedia, are what you might call "100% homegrown." How do you expect the face of Indonesian entrepreneurship to evolve over the next several years?

BRAM VIKTOR 30:08
I think entrepreneurs create entrepreneurs. That's what my mentor told me. And I think, at least from our relationship, I can see that happening. I think he is my most influential mentor until now. And I see that, maybe in the future, all these tech companies that we see today, including Hangry, will give birth to many more entrepreneurs. I think. So, actually, if we look at the composition of people working at Hangry, maybe 99% are people who have been educated in Indonesia: homegrown. And because I think statistically, there are more people who are educated in the Indonesian educational system than people who are privileged enough to study abroad. So I think in the future, there will be more and more entrepreneurs who are homegrown.

ALAN 30:53
So Bram, as you build your company today, what is the one factor that is most lacking in the ecosystem in your mind?

BRAM VIKTOR 30:59
In my mind, maybe one thing that is lacking, if I were to compare where we are in Indonesia with Silicon Valley, is how we treat failure. I've met a couple of Silicon Valley entrepreneurs that failed. A couple of them became YC partners, and then a couple of them decided to start other companies. I think they treated failure with respect and admiration. And that's something that is fascinating to me. Because where I am today, I think if I looked at the people around me, I think failure is still not appreciated as much here. I think the ecosystem in Indonesia is one where success is highly celebrated. And failure is looked down upon, which is pretty sad, because that means 99% of entrepreneurs that decide to embark on a startup journey will probably not be treated so well when they fail...and 99% of people will fail. And the truth is, there's a very fine line between failure and success. And oftentimes, it's just luck. And that's why I think if, let's say I were to hope one thing to change, I would hope that our ecosystem would treat failures with more friendliness and respect and admiration, as opposed to looking down on these failures.

ALAN 32:10
Wow, very interesting thought there. What is the most important piece of advice you would share with an aspiring entrepreneur?

BRAM VIKTOR 32:17
Maybe I'll answer, instead of one, I'll answer with two. I would say that the number one most important advice would be that product-market fit, or customer love, is everything. A lot of entrepreneurs that I've met have big aspirations. They have big dreams, big ambitions. They also have fascinating business models in their mind. But a lot of people will not think of the customer enough. And the most successful businesses in this world are the ones that are obsessed about the customer. We can think of Amazon right away when I said that, because Amazon is the living testimony of how customer obsession brings success. I would say that that's the first thing. The second thing is something that William told me, and he told me that we just have to focus on doing the right thing. It may seem trivial, but it's actually pretty complex to practice everyday consistently. One example that I would pick is how a lot of founders would decide to allocate maybe 10 to 15% of their company as ESOP, which is the common practice. But if the principle is: we have to share upside, to give credit to those who actually put in effort, then I think 10 to 15% of a company as an ESOP pool seems pretty small in my opinion. What William told me is that I know, deep in my heart, that this company is not for me. This company is what God has entrusted me with, for our customers and for our employees, and also for our shareholders too. We should definitely be as generous as we can with our ESOP. So I think that's something that for me is one of the best pieces of advice I've ever received, which is to always do the right thing, even when it's unconventional.

ALAN 33:56
Great advice, and great to hear your broader story, Bram. really enlightening and inspiring. We look forward to following your trailblazing work as one of the country's first serial entrepreneurs. This concludes our 11th instalment of Indo Tekno, thanks so much for joining us today Bram.

BRAM VIKTOR 34:12
My pleasure. Thank you so much for inviting me here, Alan.

ALAN 34:15
The podcast was translated from English to Bahasa Indonesia by Alpha JWC Ventures. Terima kasih untuk mendengarkan. Sampai jumpa lagi!

Transcribed by https://otter.ai
Introduction: Examining entrepreneurialism in Indonesia
Abraham "Bram" Viktor as a student and his early entrepreneurial efforts
Early start-up failures and the allure of banking & consulting
The role of "stupidity, self-confidence and luck" in entrepreneurialism
From kaya jam to construction materials to fintech: Bram's unorthodox path
The early days of P2P lending service Taralite
The sale to Ovo
Leaving Ovo to "become a better entrepreneur and leader"
Hangry, cloud kitchens and "founder fit"
The major challenges: finding a) product-market fit and b) the right leadership
Leadership and its indelible imprint on company culture
Mentorship from William Tanuwijaya, guidance from the VC's
Hangry's mission: revolutionizing F&B for the new generation
COVID-19 and Hangry's mass online migration of business processes
"Entrepreneurs create entrepreneurs": Creating homegrown leaders
"Treat failure with respect and admiration"
Advice to entrepreneurs: don't compromise product-market fit, share the wealth with your employees
Conclusion