
OzAlum Podcast
Do you ever wonder how Australian alumni have gone on to achieve success after studying in Australia? Now you have the chance to find out as our alumni share unique stories about their experiences, knowledge and networks gained while in Australia that have helped them most in their journeys and key intersections of opportunity and alumni connections that have propelled them to where they are today. We have some talented alumni guest hosts lining up for exclusive interviews with our guests. Listen in our OzAlum podcast find out how these inspiring alumni let their lives speak and the unexpected twists and tale of life at each intersection along the way.
OzAlum Podcast
Eps #25 Kisah Perjalanan di Australia: Studi, Keseharian dan Pembelajaran Hidup
Apa kunci sukses untuk kuliah S3 di Australia?
Dalam episode #OzAlum Podcast kali ini, pewara Raissa Almira berbincang dengan dua alumni Australia Awards yang inspiratif, Dr Erlania dan Dr Rangga Jantan Wargadalam.
Mereka berbagi pengalaman dalam menempuh studi doktoral: mulai dari menyusun proposal riset yang solid, menyeimbangkan jadwal akademik yang padat, hingga menjaga keseimbangan hidup, mengeksplorasi kehidupan di luar kampus dan membangun komunitas yang suportif. Mereka juga merefleksikan pelajaran penting yang didapat, sekaligus berbagi saran bagi calon mahasiswa S3.
Penuh dengan kisah tantangan, pembelajaran dan inspirasi, episode ini menyoroti perjalanan akademik dan personal para alumni selama studi S3 di Australia, serta dampak jangka panjang yang mereka bawa saat kembali ke tanah air.
*woosh*
Raissa Almira: Oke, jika Mas Rangga nih bisa cerita, satu saran aja untuk calon mahasiswa S3. Kira-kira apa nih mas?
*woosh*
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Kita harus jemput bola. Terutama ya seperti itu banyak membaca.
*woosh*
Dr. Erlania: Walaupun ga punya latar belakang penelitian, itu mau ga mau memang harus diarahkan ke sana.
*woosh*
Raissa Almira: Kalau kita bisa lihat kebelakang nih, kira-kira apa sih, Mas Mbak, pelajaran yang paling berharga selama studi di Australia saat S3?
*intro*
Raissa Almira: Halo OZlisteners, selamat datang kembali ke OZAlum Podcast, sebuah podcast yang membahas mengenai Australia, Australia Award Scholarship dan juga alumni yang sangat inspiratif. Saya Raissa Almira akan membahas mengenai beasiswa S3 dan bagaimana menjalani kehidupan akademik dan non-akademiknya. Selain itu, kita akan juga membahas bagaimana mereka mempersiapkan proposal riset mereka yang kuat dan hari ini saya kedatangan dua tamu yang sangat spesial. Yang pertama adalah Mas Rangga, yang merupakan alumni dari Beasiswa Australia Awards program PhD di Built Environment di The University of Canberra. Yang kedua, ada Mbak Erlania yang merupakan juga penerima Beasiswa Australia Awards di program PhD Environmental Science dari Deakin University. Halo Mbak! Oke, kita langsung aja ke pertanyaan pertama ya teman-teman.
Raissa Almira: Okay. Mungkin Mas sama Mbak bisa cerita sedikit nih ke temen-temen apa sih latar belakang Mas sama Mbak sekarang? Lagi ngapain aja dan sedikit cerita tentang kalian? Silahkan dari Mbaknya dulu.
Dr. Erlania: Dari sebelum berangkat PhD di Australia, saya bekerja sebagai researcher. Saat ini di BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional, khususnya di Pusat Riset Oseanografi.
Raissa Almira: Oke, keren banget Mbak. Oke dan Masnya bagaimana?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Iya, saya bekerja di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau juga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jadi memang kerjaan saya memang sehari-hari sebagai perencana. Kebetulan kami saat ini ditempatkan di Kedeputian Politik Hukum Hak Asasi Manusia Pertahanan Keamanan, jadi kami melakukan perencanaan sekitar bidang itu.
Raissa Almira: Mantap sekali latar belakangnya Mas Mbak ini. Mungkin boleh cerita juga nih, Mas sama Mbak, kenapa sih dulu pernah mendaftar Australia Award Scholarship di bidang PhD-nya nih? Kenapa memilih beasiswa ini diantara pilihan lainnya? Mulai dari Masnya mungkin.
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Pertama ini juga sih, karena kebetulan bapak saya juga dulu mengambil PhD di Amerika Serikat waktu itu dan waktu kecil saya juga pernah ikut beliau ketika belajar. Jadi ada keinginan pribadi juga untuk mengalami hal yang sama, terutama dengan keluarga saya. Itu yang pertama dan kedua ya tentu saja untuk pengembangan diri ya, terutama untuk bagaimana kita bukan hanya ilmunya sih, tapi mungkin cara berpikirnya itu yang saya ingin kembangkan, bagaimana dalam melakukan penelitian, maupun mendapatkan doktor ini bisa mungkin diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari.
Raissa Almira: Baik, dan mengapa memilih Australia Award Scholarships?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Pertama Australia, dengarnya deket ya. Jadi, itu kelebihan tersendiri. Jadi ketika saya misalnya untuk kembali ke Indonesia itu bebannya mungkin lebih berkurang dan juga waktunya lebih mudah dan kedua ya memang karena kualitas pendidikan di Australia juga terkenal juga sangat baik.
Raissa Almira: Dan mengapa jurusan Built Environment ini Mas?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Itu karena ada ketertarikan saya dalam bidang mitigasi resiko dan salah satunya itu untuk penanggulangan bencana. Untuk bidang itu memang macam-macam sih, dari antara sampai benar-benar penanggulangan bencana dalam arti mengukur harus resikonya dan sebagainya, atau yang sampai dengan lebih kepada bagaimana menggalangkan masyarakat untuk siap menghadapi bencana dan sebagainya. Sangat luas dan saya rasa terutama Indonesia yang resikonya itu cukup tinggi, Tingkat bahaya untuk itunya cukup tinggi, akan bermanfaat juga, Insya Allah untuk Indonesia.
Raissa Almira: Oke baik, terima kasih ya Mas. Untuk Mbaknya bagaimana?
Dr. Erlania: Satu, Australia Awards termasuk beasiswa yang cukup populer. Saya bekerja di kantor pemerintah dan Australia Awards kan bekerja sama juga dengan pemerintah Indonesia ya. Terus kemudian ada juga informasi dari alumni di kantor, teman-teman yang dulunya juga dari Australia Awards dan mereka promosinya lumayan bagus ya, termasuk beasiswa yang bagus lah diantara beasiswa yang lainnya gitu. Karena kita dibantu dari awal sebelum berangkat bahkan sampai kembali ke Indonesia dengan baik.
Kenapa saya ambil PhD ini? Satu, untuk peneliti memang pendidikan memang nomor satu ya, harus sampai level tertinggi dan itu juga kewajiban sih di institusi gitu. Namun dibalik itu saya juga mungkin saya cukup berjiwa peneliti. Jadi awalnya itu karena saat saya ambil Master di sini, topik riset saya saat itu adalah carbon sequestration in seabed aquaculture dan saat itu ga ada sama sekali penelitian tentang itu, ga ada literatur, jadi saya agak meraba-raba terutama di Indonesia ya. Nah setelah selesai Master itu, ga ada perhatian lah di bidang itu. Terutama saya karena bekerja di pemerintah, itu bukan topik yang menarik perhatian mungkin bagi pemerintah saat itu. Akhirnya saya mencari-cari dari literatur di luar, saya cari-carilah dimana sih yang lebih maju dilakukan riset di bidang ini, salah satunya di Australia. Mungkin karena saya terbiasa sebagai peneliti membaca paper gitu, jadi udah ketauan nih siapa nih tokoh-tokohnya di bidang ini gitu. Terus nyarilah gitu di Australia.
Raissa Almira: Khususnya di Deakin University ini?
Dr. Erlania: Ya salah satunya dan yang terkemuka di Australia.
Raissa Almira: Oke mantap sekali Mbak. Mungkin lanjut aja ke pertanyaan berikutnya. Kegiatan akademik untuk S3 itu apa aja sih Mbak? Boleh cerita sedikit ga?
Dr. Erlania: Mahasiswa S3 karena kita penelitian ya, udah pasti meneliti dan meneliti. Meneliti dalam hal ini, kalau untuk S3 di Australia, tahun pertama itu terutama sekitar 9 bulan atau 12 bulan pertama itu adalah namanya Confirmation of Candidature, di mana di situ kita harus mempersiapkan proposal riset. Setelah melewati tahap itu barulah kita bisa melakukan penelitian secara ini. Secara teknisnya gitu. Terutama bidang saya, karena saya bidang teknis, jadi di riset saya itu ada namanya pekerjaan di lapangan, ada pekerjaan di laboratorium, ada analisis data, menulis, membaca terutama itu sih hal-hal yang kita lakukan sehari-hari sih.
Raissa Almira: Oke. Mungkin Mas ada tambahan dari Mbaknya?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Ga sih. Kalau saya sendiri sih memang mengikuti beberapa kelas ya. Cuman lebih kepada ini sih, waktu itu bukan persyaratan sebagai doktoratnya, memang ada SKSnya, tapi waktu itu lebih ke sit-in student ya. Memang tapi ada diskusi dengan terutama dengan pembimbing, kira-kira wah ini kayaknya ini menarik nih untuk kamu belajar tentang ini. Terutama misalnya saya ambil contoh karena saya terkait dengan bencana dan ketemu orang yang mungkin pernah mengalami bencana, waktu itu saya mengambil beberapa kursus tentang Kesehatan mental misalnya, bagaimana cara menghadapinya, terus lebih kepada terkait dengan pengambilan data dan sebagainya.
Karena seperti disampaikan tadi oleh Mba Erlania, kalau misalnya tahun pertama itu lebih kepada ini, kalau kesana-sana itu kan bagaimana kita menganalisa data, tapi yang pertama kepada pencalonan itu lebih pada bagaimana metodologi kita untuk mengambil datanya. Nah itu yang benar-benar diperiksa oleh tim penilai itu. Apakah ini layak atau tidak, lalu etikanya juga, yang terutama di Australia itu sangat diperhatikan. Bagaimana kita mengambil datanya, misalnya apakah kita akan menanyakan ke anak-anak atau tidak, apakah nanti ada pendampingan, lalu kalau misalnya ada kejadian ketika kita tanya mereka panik dan kita harus bisa menghubungi siapa dan sebagainya dan seperti itu sih yang lebih ke pembelaannya. Di samping tentu saja ya apakah substansi yang kita penelitian itu unik, apa hal yang baru dan apakah itu memang layak untuk dijadikan doktorat.
Raissa Almira: Oke, untuk pertanyaan berikutnya, menurut Mas sama Mbak, apa sih perbedaan yang paling mencolok antara S2 sama S3? Mungkin dimulai dari Masnya.
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Yang paling mencolok itu kemandiriannya itu kan ya. Jadi memang ketika kita S2, sepengalaman saya S2 kan kita ikuti kelas ini, tugas kamu adalah ini-ini, terus bagaimana menjawabnya juga dinilai cara kita menjawabnya. Nah, kalau S3 itu kita harus cari soalnya sendiri, kita harus jawab sendiri, dan yang melihat jawaban kita benar atau tidak juga bukan ahlinya loh, karena terutama pengalaman saya di doktor itu, di bidang kecil yang kita pelajari itu, kita yang memang paling ahli. Karena pertama persyaratan untuk penelitian doktor itu kan suatu yang unik, jadi orang lain itu belum pernah meneliti. Jadi memang benar-benar yang fokus kepada riset kecil cakupan penelitian itu memang kita yang paling mengikuti. Jadi di sini kita lebih pada belajar justifikasi bagaimana jawaban kita atau analisa kita. Dan itu yang saya rasa sangat berbeda. Jadi bukan orang lain yang menilai tapi justru kita yang mencari jawabannya sendiri, orang lain hanya menilai apakah cara kita mendapatkan jawaban itu benar atau tidak.
Raissa Almira: Oke, Mbak ada tambahan mungkin?
Dr. Erlania: Intinya Master dan PhD itu beda, menurut saya sih ininya bisa kita sebut dalam satu kata yaitu novelty. Itu wajib ya kalau S3 misalkan riset kita itu pasti kayak Mas Rangga bilang tadi harus unik yang sebelumnya, kasarnya itu belum ada lah sebelumnya gitu.
Raissa Almira: Berarti banyak banget kegiatan akademiknya. Ada tips cara menyeimbangkan semuanya, dari publikasi, riset, kegiatan akademik? Bagaimana Mbak menyeimbangkan semuanya?
Dr. Erlania: Seimbang ya. Sebenarnya salah satu dukungan yang luar biasa yang saya terima kalau di, saya nggak tahu di kampus lain tapi di Deakin, terutama di Deakin Warrnambool itu, karena itu kampus kecil ya, kampus besarnya ada di Melbourne. Kampus kecil ini pelajar internasionalnya pun ga sebanyak di kampus besar. Jadi mereka tuh dukungannya ke kita itu bener-bener kayak lebih terasa secara langsung. Contohnya kita saat lockdown dikasih kayak namanya les musik misalkan, online nih, khusus pelajar internasional. Terus yang di situasi-situasi lainnya juga misalkan, banyaklah acara-acara yang disediakan sama si student support ini. Selain itu, sebagai orang Indonesia pasti kangen sama orang, komunikasi dan kita pastinya saya yakin semuanya juga bergabung dengan komunitas Indonesia yang ada di sana.
Raissa Almira: Mas nya ada tips menyeimbangkan yang mungkin nambahin Mbak?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Mungkin yang membedakan Australia itu karena mereka untuk student support-nya kan sangat baik ya. Jadi terutama untuk doktorat itu kan kita memang benar-benar mandiri, jadi kita harus mengatur waktu sendiri. Nggak ada yang memaksa kita kelas, jadwal kelas itu, tapi kita punya kantor. Ya, apakah kita masuk ke kantor itu 9 to 5 atau seperti apa, itu kita sendiri. Nah, untuk bisa manfaatkan itu, terutama saya pribadi sih di University of Canberra itu ada student support, dalam arti mereka juga punya bantuan atau lebih ngasih tips-tips itu bagaimana kita mengatur waktu juga. Di samping tentu saja bisa diskusi dengan pemimbing ataupun rekan-rekan pengalaman atau senior yang sudah sedang mengalami lebih lama untuk studinya. Itu bisa membantu kita terutama untuk mengatur waktu itu.
Raissa Almira: Student support ya intinya. Oke deh, kalau tantangan terbesarnya apa nih Mas sama Mbak selama studi S3 ini? Kira-kira mungkin dari Mbaknya?
Dr. Erlania: Tantangan terbesar itu mungkin karena saya ada pandemi ya waktu itu dan saat itu tahap riset saya belum dimulai, bahkan baru mulai banget saat lockdown dimulai itu. Saat itu saya sedang menjalankan eksperimen di lab. Itu eksperimen pertama harusnya itu data pertama saya yang saya kumpulkan gitu ya, dan itu baru beberapa bulan jalan itu harus di hentikan. Jadi belum dapat data sama sekali nih. Jadi begitu lockdown disana itu, ada yang lockdown full itu kalau gak salah setahun ya yang full lockdown. Di sana tuh lockdown-nya bener-bener yang serius, ga ada akses ke kampus. Itu setahun lah yang full itu. Kemudian tahun berikutnya tuh adalah buka tutup, buka dua minggu, tutup dua minggu, terus ada buka sebulan, tutup setengah bulan ya. Itu tuh karena saya risetnya butuh lapangan dan butuh lab, itu benar-benar luar biasa, ga ada sama sekali yang bisa saya lakukan, kalau mungkin teman-teman yang bisa riset studi mungkin masih enak ya bisa dilakukan di rumah itu, jadi kayak dua setengah tahun pertama PhD saya itu saya masih belum ada apa-apa dan itu yang luar biasa berat. Saat itu saya kebayang, kalau tinggal waktu satu setengah tahun ya waktu itu, gimana nih kalau sampai ga bisa lanjut, ga bisa progres, wah udah. Itu pikirannya udah stress banget, tapi kembali lagi kepada student support tadi ya yang disediakan oleh kampus, begitu dua setengah tahun ini saya sudah mulai panik. Akhirnya saya ngobrol lah ke teman sesama pelajar PhD di sana yang lokal, jadi dia menyarankan biasanya begini kalau di sini, jadi dia menyarankan untuk saya menyampaikan permasalahan saya kepada ada disebutnya HDR (Higher Degree Researcher) coordinator, itu tuh kayak dosen yang mengkoordinir semua pelajar PhD di kampus itu. Terus kemudian saya berbicara tentang masalah saya, saya menyampaikan kondisi beasiswa dan segala macam, akhirnya kasus ini diangkat ke fakultas dan fakultas membentuk tim yang namanya Progress Support Panel dan disitu tuh berasa banget support student itu sangat berguna. Saat itu dibuatkan meeting, terus kemudian saya disuruh menceritakankan apa progres yang udah ada, apa yang harus masih dilakukan, berapa banyak dan itu tuh saya sampai membuat kayak daftar jadwal yang sangat detil per minggu gitu sehingga di akhir masa beasiswa itu bisa tercapai dan saya bisa selesai PhD-nya dalam satu setengah tahun yang tersisa gitu. Nah untungnya dari Australia Awards, saya diperbolehkan memperpanjang maksimal satu tahun. Saat itu saya daftar cuma 6 bulan, jadi secara teknis saya melakukan PhD saya dalam 2 tahun dan itu tuh bener-bener yang kayak kerja yang sangat intensif lah gitu dalam waktu singkat, itu tantangan saya sendiri ya, tapi gak tau mungkin beda-beda ya tergantung ini.
Raissa Almira: Wah keren banget sih Mbak bisa melaluinya. Wah oke deh, terima kasih Mbak buat ceritanya, kalau Masnya, tantangan terbesarnya?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Apa ya, mungkin tantangan yang terutama itu karena kita mandiri ya, semuanya ngerjain sendiri, harus kita yang ngatur sendiri ya. Saya tuh punya hobi tuh main musik sama main game. Jadi siangnya biasanya main game, malamnya main musik, punya band. Terus kapan pelitiannya? Jadi kadang-kadang itu yang susah, tapi terutama karena kita punya kebebasan itu, bagaimana kita mengatur waktu kita sendiri, karena kita saking bebasnya itu, ya kapan kita punya waktu selalu untuk penelitian itu. Tapi untungnya mungkin ya cara berpikir namanya pelajar PhD itu mau mandi, mau makan, selalu kepikiran aja. Mau tidur, selalu kepikiran penelitiannya, oh tadi baca tentang ini, apa ya tapi kebawa terus sih. Tapi ya Alhamdulillah selesai, walaupun ada yang serius tapi santai, tapi saya rasa juga itu sih untuk seimbang. Cari antara kita stress untuk penelitian, tapi juga bagaimana kita memanfaatkan suasana baru itu sebagai pelajar ya. Karena, yang namanya mahasiswa kan punya leluasa untuk kita mencari orang, untuk teman, untuk banyak kegiatan, itu yang mungkin saya manfaatkan betul.
Raissa Almira: Oke, baik. Thank you, Mas dan Mbak. Oke, kita lanjut ke topik selanjutnya yaitu adalah menyusun proposal riset. Bisa ga sih, Mas dan Mbak, ceritain tentang topik riset kalian? Dan mengapa sih memutuskan untuk memilih topik tersebut? Mungkin dimulai dari Mas Rangga.
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Oke, saya memang ada ketertarikan dengan ini, untuk terkait dengan bagaimana manajemen risiko. Jadi, kedua adalah terkait dengan bagaimana penanggulangan bencana, lebih fokus kepada mempersiapkan masyarakat ataupun dalam hal ini pemerintah sendiri menghadapi resiko tersebut. Bukan dalam arti bagaimana ada bencana kita masuk ke sana, menyelamatkan orang, tapi lebih kepada kewaspadaan, lebih kepada kesiapan, ketahanan terhadap bencana dan sebagainya. Nah itu seharusnya yang pertama yang mungkin teman-teman harus memikirkan ketika menyusun proposal itu keinginan kita dimana. Karena kalau kita tidak ada keinginan ke sana, terutama karena kita mikirin sampai 4 tahun atau bahkan lebih, ketika itu membosankan, kita tidak ada keinginan itu, itu akan jadi beban yang sangat besar sehingga saya rasa pertama untuk keinginan kita itu yang penting.
Raissa Almira: Memilih topik itu karena memang ada perhatian di bidang mitigasi bencana begitu ya Mas ya? Oke deh, untuk Mbaknya sendiri?
Dr. Erlania: Riset saya di Deakin berjudul Contribution of Seaweed to Carbon Sequestration. Di situ saya memilih topik ini karena seperti sebelumnya saya sampaikan bahwa topik tersebut belum menjadi perhatian di Indonesia dan riset di bidang ini belum banyak, padahal rumput laut adalah salah satu, bukan salah satu, mungkin tanaman laut yang paling produktif sedunia dalam menyerap karbon dioksida dari atmosfer, kemudian potensinya sangat besar dalam mitigasi perubahan iklim. Jadi, sebenarnya itu sih latar belakangnya kenapa saya memulai topik ini.
Raissa Almira: Terima kasih mbak untuk ceritanya. Untuk pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana sih Mbak, pengalaman Mbak sendiri untuk membuat proposal riset yang sangat kuat dan juga berdampak nih, berdampak untuk sektor anda? Bisa cerita sedikit ke penonton?
Dr. Erlania: Oke. Dalam membuat proposal riset, kalau saya pribadi, saya akan sangat menekankan gimana kita harus berada di ilmu terkini saat itu, saat kita bikin proposal itu. Intinya supaya kita bisa mengidentifikasi apa sih yang masih kurang. Apa sih mungkin ilmu yang masih ada di bidang interest kita ini, supaya riset yang kita lakukan itu tidak mengulang kembali apa yang sudah pernah dilakukan orang mungkin di mana, di belahan dunia mana. Kemudian dari situ kita bisa turunkan, apa sih metode yang harus kita lakukan dengan adanya masalah ini, apa yang kita butuhkan? Dari situlah kita mengidentifikasi metode yang akan kita gunakan di proposal kita nantinya.
Raissa Almira: Oke baik, untuk Mas nya? Ada tambahan?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Iya sih, selain kita harus up to date dengan ilmu itu ya, terus kita juga akan yang paling ditanyakan untuk proposal itu karena adanya novelty itu, keunikan itu ya. Oleh karena itu memang mau gak mau kita harus baca, harus banyak baca jurnal dan harus tahu lingkungan akademik yang saat ini banyak dipelajari orang itu seperti apa. Jadi jangan sampai kita udah capek-capek bikin proposal ternyata orang lain udah ada yang menelitikan hal yang sama. Dan kedua ternyata metodologi ataupun data-data yang kita gunakan itu sebenarnya udah ada yang baru-baru itu yang biasanya yang sangat, bukan fatal tapi sangat dipertanyakan oleh terutama untuk peer itu adalah hal-hal seperti itu, sehingga sangat penting untuk kita untuk baca itu aja sih.
Raissa Almira: Oke, untuk dulu mas pakai metode ada apa saat riset?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Saya mungkin lebih ke campuran ya, jadi ada ada kuantitatifnya dalam arti misalnya ambil data dan juga saya membuat simulasi, tapi di samping itu juga saya ada kualitatif ya dalam bentuk diskusi, ada wawancara, saya juga bikin FGD-FGD (Focus Group Discussion) dengan masyarakat di Pangandaran.
Raissa Almira: Jadi metode campuran ya? Untuk Mbaknya?
Dr. Erlania: Kalau saya sih murni kuantitatif, karena saya bidangnya carbon sequestration study ini, kayak multidisiplin. Jadi saya menggunakan kombinasi berbagai metode. Contohnya saya harus menggunakan metode yang terkait biomoleculer, biochemistry. Saya juga menggunakan GIS spatial mapping, sampai modelling, environmental modelling kayak gitu. Jadi bener-bener yang multidisiplin lah gitu bidang yang saya ambil di sini.
Raissa Almira: Oke. Berbicara tentang penelitian, dulu Mbak bagaimana cara memilih pembimbingnya dan bagaimana menjaga hubungan yang baik dengan mereka?
Dr. Erlania: Para akademik di luar sana itu mereka orangnya super sibuk dan mereka nggak punya waktu untuk baca bolak-balik berbalasan-balasan email dengan kita yang kasarnya mereka gak tau entah siapa ini orang. Jadi saya saat itu melakukan komunikasi itu ya langsung ke poinnya aja sebagaimana orang barat lebih suka langsung, itu dalam pikiran saya gitu. Jadi saya langsung email, perkenalkan diri, ga pake basa basi, perkenalkan diri, saya ada ketertarikan buat gini-gini, pengen riset di bidang ini dan kita bertanya apakah mereka punya projek yang sama atau apa, terus mereka apa bersedia untuk jadi pembimbing kita. Terus kita juga ceritakan bahwa kita ini dalam proses pendaftaran beasiswa seperti Australia Awards Scholarship. Alhasil itu semua, saya kan gak email satu orang ya, jadi semuanya itu membalas dan responnya bagus semua gitu.
Raissa Almira: Oke deh siap. Untuk Masnya?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Betul saya setuju sih, memang langsung ke poin dan saya juga sama email pertama saya itu udah melampirkan proposal dan memang lihatnya saya tertarik dengan ini dan mungkin yang kedua tuh, kita juga harus meneliti orangnya ya, kita email ya. Kita kan nggak mungkin email, tapi pertama, paling tidak itu di website kampusnya itu mereka ada penelitian mereka, link-link gitu. Jadi kita setidaknya harus baca penelitian-penelitian mereka. Pertama, sopan ya untuk kita, tapi kedua juga mungkin ketika kita baca jurnal mereka, kita gak cocok dengan cara perlitian mereka dan sebagainya dan ini juga untuk jalannya jangan sampai kita kesana itu, pertama ya, apa ya metode penelitian yang kita akan lakukan itu bukan keahlian ataupun tidak cocok dengan pembimbing yang kita mau. Jadi itu sangat penting karena nanti ya banyak buang waktu. Dan kedua, ini juga sih saya memang sama sih, email itu banyak kan. Kita berapa orang itu yang, oh ini yang cocok nih, mungkin lima atau sekian orang. Saya juga ini sih, milihnya itu karena beliau yang paling cepat merespon. Karena waktu mungkin ada beberapa yang jurnalnya banyak, tapi yang dia sangat cocok dengan kita, tapi waktunya itu tidak ada sama sekali. Dari kesibukan itu juga kita bisa melihat sih, walaupun itu menjadi pembimbing yang sangat bagus, tapi kalau misalnya kita tidak punya waktu itu, akan mengganggu nanti proses belajar kita sendiri dan saya lihat waktu itu kebetulan saya email beliau, beliau mungkin lagi kosong atau apa ya, tapi setidaknya dalam satu hari itu sudah ada balasan dan abis itu sudah langsung kontak banyak, sehingga ketika ada tawaran-tawaran yang lain yang masuk ya beberapa dosen yang lain, saya bisa menyampaikan oh kebetulan saya sudah banyak bicara dengan ini dan mereka oke, It's okay, kalau gitu good luck. Jadi intinya gak masalah kalau kita misalnya pertama kita jualan dengan sebanyak-banyaknya tapi yang kedua kita juga selektif dalam memilih siapa yang akan supervise karena ini akan sangat bergantung dalam 4 tahun setidaknya kehidupan kita ke depannya.
Raissa Almira: Oke, dan mungkin pertanyaan selanjutnya, bagaimana menjaga relasi selama studi 4 tahun ini? Tadi kan memperkenalkan di awal, menjaganya, ada tips?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Mungkin yang pasti bertemu rutin ya. Apakah itu 2 minggu sekali, sebulan sekali setidaknya. Dan juga tidak hanya ketemu dalam arti untuk lihat progres, Tapi kadang-kadang makan malam ataupun apa namanya, ketemuan, makan siang setidaknya. Ada waktu seperti itu dan juga mungkin karena budaya di barat juga ya, jadi tidak heran kalau kita memperkenalkan keluarga kita dan kita mengenal keluarga mereka. Sehingga saya rasa hubungan yang lebih erat itu akan membantu kita nanti dalam studi kita. Jadi lebih terbuka dalam komunikasinya.
Raissa Almira: Oke. Ada tips dari Mbak untuk jaga relasi?
Dr. Erlania: Ya benar sih yang Mas Rangga bilang, mungkin itu bedanya dengan di sini ya. Di sana itu saya hubungan profesional dan personal itu bagus dengan pembimbing, terutama pembimbing utama karena kita yang benar-benar berhubungan langsung dan terus-menerus dengan beliau, kita berada dalam satu kampus, saya punya dua pembimbing yang berada dalam satu kampus, dua lainnya di luar kampus Warrnambool gitu. Nah itu kita berhubungan sangat dekat dan mereka kan punya grup, setiap pembimbing itu punya lab lah bahasanya gitu. Nah itu tuh biasanya kita dalam satu lab itu sering ada acara-acara lah, ngumpul-ngumpul, makan-makan dan yang sampai kayak acara natal di rumah mereka, kita diundang. Ya itu sih menurut saya bedanya. Kedekatan pembimbing di luar itu dengan di sini ya hubungan kita dengan pembimbing.
Raissa Almira: Seru ya jadi seperti teman juga ya.
Dr. Erlania: Benar, karena model disana itu pembimbing dan pelajar PhD tuh gak kayak hierarki gitu, gimana sih? Bukan siswa dan atasan atau
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Kita juga masuk fakultas kan? Jadi bukan sebagai pelajar.
Dr. Erlania: Kita punya status sebagai staf. Jadi kalau punya email sebagai pelajar punya email sebagai staf juga.
Raissa Almira: Oh gitu, ada 2 email, menarik. Oke, baik-baik. Bicara soal kehidupan non-akademik, tadi kan mas udah pernah sharing suka musik dan gaming ya, ada hal lain yang anda lakukan ga biar gak mumet belajar doang gitu selama disana.
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Mungkin ini ya, mungkin kita ga mikirin tapi terutama komunitas, kita kan juga mewakili Indonesia ya. Jadi komunitas Indonesia itu yang mungkin sangat membantu. Kebetulan saya di Canberra, jadi ada komunitasnya yang cukup besar dan juga ada kedutaan besar juga di sana. Jadi ada kegiatan-kegiatan untuk itu juga sangat banyak. Terutama di, biasanya gak tahu, tapi setiap di kampus saya itu memang ada kegiatan seperti International Week ataupun Culture Week. Di sana Indonesia Student Association-nya bikin acara atau bikin setidaknya buka stand. Ya kita ikut. aktif aja ya disitu.
Raissa Almira: Jadi bisa banget ngebantu kesehatan mental ya mas ya kalo ada kegiatan seperti ini. Oke baik, kalo Mbaknya ada aktivitas yang dilakukan?
Dr. Erlania: Jadi si pelajar PhD disana itu semuanya, kita kayak yang bener-bener berteman dekat yang ngopi bareng, terus nanti ada aktivitas apa bareng gitu. Jadi ga yang kita terisolasi sendiri sebagai pelajar. Mungkin seperti yang saya rasakan waktu saya ada di kampus Melbourne yang sangat besar, disitu pelajar internasional itu banyak gitu jadi mungkin hubungan mereka sesama grup mereka lebih berkelompok. Tapi kalau di kampus saya itu benar-benar yang menurut saya itu salah satu dukungan kesehatan mental dan segala macam lah itu hubungan sosial dengan sesama pelajar.
Raissa Almira: Oke baik. Dulu mas sama mbak apakah membawa keluarga saat berkuliah? Mungkin bisa masnya dulu.
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Saya bawa. Istri saya sama anak saya satu.
Raissa Almira: Oke. Itu gimana cara membagi waktu keluarga sama waktu belajar mas?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Mungkin pertama karena saya tinggal di Jakarta kan ya. Dimana mungkin malah lebih jarang ketemu. Karena pertama kita banyak di jalan. Terus kedua di kantor, tapi disana karena kita student dan ngantor sendiri, saya pertama enak sih, karena pertama saya biasanya nganter anak ke sekolah itu saya, jemput juga sama saya dan setidaknya sesibuk-sibuknya kita seharian ketemu tuh, matahari masih ada masih ketemu, jadi disana salah satu keunggulannya pertama ya jalanan dan untuk perjalanan itu tidak susah dan relatif untuk kemana-mana dekat, jadi lebih banyak bisa punya waktu untuk keluarga dan kegiatan dengan keluarga di kota kita.
Raissa Almira: Oke dan bagaimana pengaruh mereka dalam dukungan Kesehatan mental anda? Apakah sangat berpengaruh atau bagaimana?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Pengaruh pasti ya. Saya gak tahu sih. Kebetulan saya tuh kalau ga salah bulan Juli berangkat. Alhamdulillah semuanya itu lancar, dapat rumah dan sebagainya. Jadi Oktober itu udah bareng, jadi cuma hanya beberapa bulan sendirian lah. Tapi setelah itu ya sudah kumpul semua. Terutama ya saya ga merasakan banyak tantangan sih dari mental saya waktu di sana. Ya mungkin karena ada keluarga itu.
Raissa Almira: Iya, oke. Untuk Mbaknya bagaimana?
Dr. Erlania: Kebetulan saya orang tua tunggal, saya berangkat langsung bareng dengan anak saya yang waktu itu dia masih umur 11 tahun, baru selesai kelas 5 SD di sini. Sebenarnya ga banyak tantangan ya. Nyampe di sana, sebenarnya sebelum berangkat pun saya udah komunikasi dengan student advisor kalau anak saya umur segini, terus dia nyariin sekolah, dibantu kayak gitu deh. Jadi saya tidak terlalu kesulitan dalam hal itu. Terus anak-anak mungkin lebih gampang beradaptasi juga ya dan beradaptasi secara maksudnya bahasa juga jadi mungkin gak terlalu banyak kesulitan dalam hal tersebut. Karena saya tinggal di kota kecil, jadi kemana-mana itu dekat, yang nyetir lima menit ke sana, lima menit ke sini. Terus misalkan saya di kampus, nanti saya jemput anak 5 menit terus kalau saat awal-awal tuh saya masih rumahnya masih agak berjauhan dengan sekolahnya tuh kadang anak saya dijemput terus bawa ke kampus gitu. Jadi dia juga tau situasi saya di kampus. Sempet juga sama pembimbing saya dikenalkan sama anaknya jadi punya teman langsung gitu.
Raissa Almira: Oke, kalau kita bisa mundur sedikit nih, kira-kira apa sih pelajaran yang paling berharga selama studi di Australia saat S3 dulu? Mungkin dimulai dari Mas Rangga.
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Oh, pelajaran ya? Apa ya? Mungkin ini untuk kita lebih terbuka ya karena suatu pengalaman itu. Untuk ketemu orang itu kan sangat menakutkan, untuk ketemu orang baru, tapi ketika kita di negara baru, dengan suasana baru, kita memang terpaksa untuk lebih banyak untuk menyapa orang dan juga untuk memperkenalkan diri dan itu sekali lagi keahlian yang terasa, terutama untuk pekerjaan kita mungkin lebih mudah untuk berbaur dan juga rasa takut itu ataupun cara kita bertemu dengan orang baru itu saya rasa itu sangat berguna dan orang Australia kulturnya kan sangat terbuka jadi mereka, kita gak akan salah lah, ga akan diusir ketika kita ngajak kenalan.
Raissa Almira: Oke, untuk mbanya?
Dr. Erlania: Pelajaran ya. Yang jelas tadi adalah kemandirian, independensi segala macam dalam melakukan hal pekerjaan itu benar-benar berbeda. Kalau di sana tuh kita yang ga, kalau disini mungkin kita lebih apa ya top-down gitu, perintah dan segala macam dari atasan. Kalau disana tuh kita tuh kayak yang bekerja setara. Walaupun itu atasan, cara kerjanya itu ga seperti kita dengan atasan. Jadi keterbukaan, independensi dalam berbicara dan sebagainya, menyatakan pendapat. Kemudian satu lagi mungkin ya banyak kemudahan-kemudahan mungkin yang saya rasakan di sana. Kemudian satu lagi apresiasi. Kemurahan dalam apresiasi itu luar biasa walaupun itu hal kecil yang kita lakukan gitu seperti misalkan saya pernah kaget dengar cerita anak saya sendiri di sekolah. Dia tuh guru, pulpennya jatuh. Itu dia yang ngambil apresiasi dari guru yang luar biasa.
Raissa Almira: Oke, jika Mas Rangga bisa cerita satu saran aja untuk calon mahasiswa S3, kira-kira apa nih Mas?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Pertama, memberanikan diri untuk mendaftar juga ya. Memang suatu perjuangan untuk mendapatkan doktorat itu, tapi pertama untuk beranikan dan kita merubah pola pikir untuk kita menjadi akademisi. Itu sangat penting. Dan juga kita harus jemput bola, terutama ya seperti itu, banyak membaca. Jadi jangan istilahnya, wah sekolah di mana, ga tau deh, di mana aja nanti. Atau tentang apa ya. Tapi kita harus benar-benar cari dalam diri kita dan juga di lingkungan kita, saya senang dengan apa sih? Lalu baca tentang itu, banyak lihat jurnal tentang itu dan mungkin di satu saat itu kita bisa lihat, wah saya menarik nih penelitian seperti ini. Tinggal cari orang-orang yang ahli di sana-sana, kita berani untuk kontak mereka dan menawarkan diri untuk jadi pelajar mereka.
Raissa Almira: Oke. Keberanian ya mas intinya ya. Oke, untuk mbaknya, ada saran?
Dr. Erlania: Mungkin teman-teman harus menyiapkan diri sendiri untuk bisa terjun ke riset itu sendiri walaupun gak punya latar belakang penelitian, itu mau ga mau memang harus diarahkan ke sana. Jadi sebelum daftar, mungkin saran saya persiapan yang paling penting itu adalah proposal riset atau setidaknya ide risetnya yang itu sudah pasti kita harus dapat dari pengetahuan yang saya bilang tadi. Jadi memang seperti Mas Rangga bilang, memang harus siap, harus banyak baca dulu. Jadi ga mungkin kita ngomong, daftar sesuatu ke pembimbing contohnya, tapi kita ga tahu tentang hal yang kita bicarakan gitu loh. Itu sih intinya kalau saya.
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Kalau boleh nama satu lagi, saya baru keingat sih, dan ini terutama ketika saya sudah selesai pun, banyak teman-teman yang nanya, Oh dulu, proposal risetnya apa? Minjem dong, mau lihat itu. Untuk proposal risetnya, saya rasa janganlah kita istilahnya itu nyontek, oh yang bagus itu proposal itu seperti apa. Karena yang dilihat itu gak ada rumus untuk proposal riset itu harus seperti apa, tapi lebih pada kita bisa menjelaskan secara ringkas ya, penelitian kita ingin seperti apa, tertarikan kita apa, dan mungkin manfaatnya akan seperti apa. Kalau bisa menyusun itu, apakah itu bentuknya atau formatnya itu, saya rasa itu ga pengaruh. Jadi ga usah cari-cari, harus cari contekan untuk proposal riset. Lebih terasa asli kalau kita bisa menyusun sendiri dalam kata-kata, kenapa kita ingin meneliti, bagaimana kita mengusulkan tema penelitiannya, dan nanti manfaatnya itu untuk apa.
Raissa Almira: Oke, baik. Ini ngomongin manfaat nih, Mas. Apa sih harapan Mas Rangga nih mengenai implementasi dari riset Mas untuk masyarakat nih kira-kira? Apa sih keinginan mas dari ini?
Dr. Rangga Jantan Wargadalam: Mungkin bukan hasil penelitiannya sendiri, tapi prosesnya ya. Karena saya tentang bencana, terutama untuk tsunami ya. Di Pangandaran sendiri itu kan dulu pernah ada tsunami ya. Tapi saya lihat dari diskusi saya dengan bapak-ibu yang pernah mengalami bencana itu sendiri di sana waktu itu. Lalu juga dengan pegiat-pegiat kebencanaan di sana. Tapi bagaimana memikirkan cara untuk kita mempersiapkan diri bisa seperti ini loh. Mungkin mereka juga, karena mereka sudah pengalaman ya, mereka sudah punya caranya sendiri. Mungkin kita bisa mendapatkan sisi akademiknya, akan secara lebih sistematis kita menawarkan, kalau seperti itu, dan itu saya rasa bermanfaat. Saya rasa juga hasil tesis kita yang itu tidak akan kita serahkan kepada masyarakat dan mereka akan baca. Janganlah itu abstraknya pun mereka juga gak akan baca, tapi dalam proses kita melakukan penelitian itu yang saya rasa ada manfaatnya, Insya Allah ya.
Raissa Almira: Oke. Untuk Mbak sendiri?
Dr. Erlania: Kalau saya sendiri, sebenarnya motivasi saya melakukan riset ini pengennya berkontribusi di Indonesia terkait bidang mitigasi perubahan iklim dan sebagainya melalui rumput laut dan aquakultur. Namun kembali lagi, itu bukan sesuatu yang bisa saya lakukan sendiri. Jadi, saya masih mencari-cari peluang untuk bisa memasukkan hal ini ke institusi pemerintah, karena saya sendiri bekerja di lembaga riset pemerintah dan sebelumnya saya juga bekerja di lembaga riset di kementerian, jadi itu sih misi saya awalnya gitu. Tapi mungkin itu nggak bisa secepat yang saya bayangkan ternyata gitu ya. Kita harus lihat juga kondisi di Indonesia, namun sementara itu saya tetap ingin melanjutkan kontribusi saya di bidang ini dan riset-riset di bidang ini. Untuk mengisi, masih banyak sih kekosongan ilmu di bidang ini yang masih perlu diisi. Itu jadi saya masih bekerja bareng dengan pembimbing saya di Australia dan saat ini juga berkolaborasi dengan berbagai peneliti di beberapa negara yang itu sudah mulai saya rintis, jadi itu sih harapan saya sebenarnya bisa mengisi kekosongan ilmu di bidang ini.
Raissa Almira: Wah, sebuah pesan yang sangat menginspirasi. Kita sudah ada di penghujung acara nih sayangnya. Terima kasih banyak, Mas Mbak, untuk cerita-ceritanya. Saya yakin banget semua calon-calon S3 pada semangat untuk daftar Australia Awards Scholarship.
Oke. Teman-teman semua, saya mau ngingetin nih untuk jangan lupa cek website Australia Awards Indonesia dan juga media sosialnya Kedubes dan juga Konjen Australia disini karena semua informasi mengenai beasiswa Australia Awards ada di situ. Selain itu, Australia Awards Indonesia juga pengen bagi-bagi lima souvenir buat para penonton nih. Caranya gampang banget. Teman-teman boleh share di X atau Instagram Post atau Story dengan mention Kedubes Australia dan gunakan hashtag OZAlum Podcast. Pemenangnya akan dihubungi oleh tim AAI dan jangan lupa untuk isi form di bawah ini ya.
Oke kalau gitu sampai bertemu di episode berikutnya. Terima kasih sudah menonton.